Beras Menangis

By: Aisyah Annaqiy

 

Liburan pada tahun 2002, tepat sebelum beranjak ke akhir masa SMA, aku pergi berlibur ke rumah saudaraku. Rumah bulik1-ku ini di salah satu kampung di Kandangan, Kediri. Udara khas desa lengkap dengan gelapnya malam ditemani lampu petromak menjadi temanku malam itu. Hingga keesokan harinya, kutemukan sesuatu yang berharga, Nek Karti dan berasnya.

Nenek itu terlihat tekun bekerja. Tak pasti apa yang dilakukannya. Jongkok dan menunduk di salah satu sudut sawah. Sesekali ia terlihat terdiam. Lalu, tak berapa lama ia bergeser tiga atau empat puluh sentimeter. Dan mengulang hal yang sama.

Tubuhnya yang kurus bersembunyi di balik kebaya usang yang dikenakannya. Rambutnya putih sempurna senada dengan kain batik sebagai bawahan. Kakinya tak beralas dan terlihat kekar keras menantang bumi.

“Nenek itu siapa?”

“Nek Karti. Janda tua yang tinggal diseberang, itu.. di rumah itu.” Yanuar mengarahkan tangannya pada rumah gedheg2 kecil dan reyot.

Sesaat kemudian aku mendengarkan Yanuar bercerita. Nenek itu hampir sepuluh tahun menjanda tanpa sanak keluarga. Ke empat anak lelakinya pergi hidup berumah tangga dan hanya terlihat sesekali saat lebaran atau Idul Adha. Rumahnya selalu terlihat hening, sepi seakan tak berpenghuni. Rumah itu terdengar hidup hanya setelah subuh, saat Nek Karti membaca surat cintaNya.

Kupandang dalam-dalam wajah sepupuku, mata kami beradu seakan sepakat melakukan sesuatu. Hampir bersamaan kami berdiri, lalu beranjak dari gubug tua ini menuju ke arahnya.

Baru beberapa detik aku berjalan, terasa panas matahari membakar kulit. Aku berjinjit, kakiku tak mampu menahan tanah kering dan panas. Sesaat peluh dan panas tubuhku membuyarkan konsentrasiku pada Nek Karti. Bagaimana mungkin udara panas dan tanah yang tak bersahabat serta matahari yang menyengat tetap membuatnya nyaman berlama-lama di sana?

Kuhampiri nenek tua itu dan aku memutar hingga aku berada di depannya.

Memunguti padi. Nek Karti ternyata sedang memunguti padi sisa panen kemarin. Memasukkan satu per satu bulir padi ke dalam keresek hitam dan kusam di sampingnya. Padi itu berserakan bercampur dengan debu tanah kering. Kulirik keresek itu, dan tak banyak beras yang dikumpulkannya meski hampir satu jam ia berjemur di bawah matahari.

“Nenek sedang apa?”

“Berase nangis…” Pandangannya tak berpindah barang sedikitpun dari tangannya yang keriput. Apa maksudnya menangis?

Berase kudune melu melbu nyang karung padha liyane, diadhol nyang pasar, dimasak nang omah. Gek ditinggal, berase nangis.3

”Nenek ngomong nyang beras?” terbata kubertanya.

Sekabehe ngerti aku arep nyenengke dheweke.4

Aku hanya tertegun. Melihat wajah tua di hadapanku tegar. Matanya tak sedikitpun menggambarkan kegusaran. Bibirnya tersenyum tipis dan ringan. Dia berkata bahwa beras ini sebenarnya berhak bahagia dengan masuk ke dalam karung?

Aku tertawa kecil. Nek Karti seperti sedang berkisah tentang dirinya yang sebenarnya juga berhak bahagia dengan perhatian dari keluarganya. Nek Karti pasti telah berupaya sekuat tenaga, membanting tulang demi putra-putranya.

Seperti halnya padi yang tumbuh perlahan diterpa hujan, berpayung mentari. Rela dipupuki berbulan-bulan berjuang bahkan demi manusia yang tak pernah dikenalnya.

Perhatiannya pada padi-padi ini mungkin sebuah pengharapan. Berharap putranya peduli dan memberikan hak kebahagiaan padanya. Berharap putranya mengingat segala peluh yang tertumpah saat meregang nyawa mengeluarkan mereka dari rahim hingga malam pongah saat menikahkan mereka.

Sungguh tak ada manusia yang ingin hidup sendiri tanpa satupun yang peduli.

Tiba-tiba aku teringat mama yang puluhan kilo meter dari kampung ini. Ku niatkan dalam hati, selamanya tak akan beranjak tanganku dari pelukan mama. Kebahagiaanku adalah kebahagiaannya. Kebahagiaannya adalah kebahagiaannku.

Ah, mungkin juga perhatiannya pada padi ini adalah pengharapannya pada keluarga terdekatnya. Tetangga yang hidup di sekitarnya. Yang kenyang makan setiap hari dengan sayur yang tercium setiap pagi dari dapur-dapur mereka.

Sebegitu burukkah ukhuwah kaum muslimin? Lupa dengan empat puluh orang yang di kanan dan di kiri yang menjadi tetangga mereka. Kewajiban membantu sesama seakan harga yang sangat mahal untuk dibayarkan, meski di kampung kecil ini.

Atau, Nek Karti jangan-jangan sedang menjerit memanggil penguasa negeri ini? Yang tak mempedulikan seorang tua renta yang hidup jauh dari kesibukannya mengurus negara. Tapi, bukankah mengurusi rakyatnya adalah urusan negara juga? Nek Karti kelaparan setiap hari tanpa ada yang mengurusi. Bila tetangga tak mampu, bukankah negara yang wajib menanggung hidupnya?

Beras-beras itu diabaikan hanya karena mereka telah bercampur dengan debu tanah. Mereka menangis karena tak dipedulikan. Serempak tangan kami berdua bersemangat memunguti beras-beras sisa itu, membantu nenek tua ini dalam pikiran kami masing-masing.

Dan aku masih tak mengerti, akankah kita menanamkan egoitas tinggi pada diri kita? Menantang Tuhan yang akan cuek pada kita saat tak ada naungan selain naunganNya[]

 

-Seperti yang diceritakan penari balet pada penulis, terima kasih Da…-

 

Keterangan:

1. tante

2. rumah dari bilik bambu

3. Padi-padi ini seharusnya juga ikut di masukkan ke dalam karung bersama yang lain untuk dijual ke pasar dan dimasak di rumah seseorang. Tapi, mereka di tinggalkan. Mereka menangis.

4. Mereka tahu aku sedang berusaha membahagiakan mereka

 

Sumber Tulisan: Tabloid JEJAK, edisi 09/Juli 2008

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.