#1 Sebuah Nama

#webseriesramadhan | Serial Marbot Madani | By: O. Solihin

Umumnya anak komplek ama anak kampung nggak bisa gabung. Mereka punya dunianya masing-masing. Ada batas-batas tak tertulis yang dijaga agar tak saling bercampur. Begitu pun di komplek tempat Aji ngendon. Anak komplek ogah berbaur dengan anak kampung sebelah. Apa pasal? Apalagi kalo bukan soal gengsi. Entahlah, kenapa zaman sekarang masih ngomongin soal gengsi.

“Ji, ngapain sih kamu ngajak-ngajak anak kampung sebelah untuk gabung di masjid komplek kita?” Bimbim heran. Menyunggingkan senyuman sinis.

“Emang nggak boleh, Bim?” Aji juga heran. Tapi tetap tersenyum manis.

“Gimana ya, idih, gue sih nggak level,” Bimbim begidik kayak ngeliat kodok buduk.

“Ya nggak gitu juga kalee…” Aji jadi nyolot.

“Dih, kamu kok jadi belain mereka?” Bimbim nggak kalah ngegas.

Itu obrolan yang nggak tuntas beberapa waktu lalu saat Aji dan Bimbim lesehan di teras masjid bakda Isya. Aji waktu itu ngajuin rencana kalo kegiatan Ramadhan di komplek akan melibatkan juga anak-anak kampung sebelah. Aji dan Bimbim sebenarnya sama-sama anak remas alias remaja masjid, tapi masih baru-baru hijrah gitu. Belum paham banyak tentang agama.

Selain Aji dan Bimbim, anak remas binaan Bang Faisal banyak juga. Semuanya ada lima belas orang. Anak lakinya ada 7 dan yang banyak anak perempuan, 8 orang. Di komplek itu sebenarnya banyak juga lho anak remajanya. Tapi dengan berbagai alasan (dan yang utama adalah malas) mereka ogah ke masjid. Jadi, yang sering nongkrong (idih, emangnya di pos ronda?) ya cuma belasan orang itu.

Nah, yang unik nih. Ternyata anak-anak remaja masjid binaan Bang Faisal itu, sering disebut marbot. Lho, kok bisa? Iya. Gara-gara banyak anak cowok anggota remas yang sering jagain masjid dua pekan belakangan ini. Dari pagi sampe sore. Duile, apa nggak pada sekolah ya? Sekolah, sih. Cuma mereka giliran jaga masjid. Kalo pagi, itu giliran anak yang sekolahnya siang. Nah, kalo siang ampe sore, giliran anak-anak yang sekolahnya pagi. Kalo malam, ya giliran juga sih (lho, kirain beda giliran?). Ada jadwalnya. Jadinya, digelari marbot oleh beberapa remaja lainnya yang jarang ke masjid.

“Gue nggak suka sebenarnya kita-kita disebut marbot!” ketus Ryan sambil ngunyah bakwan udang bakda tadarusan.

“Ente masih ngebahas aja yang begituan. Udah deh, terima kenyataan aja!” Imron menimpali.

“Iya, tuh. Lagian Aji kan udah ngasih nama baru. Biar pun Marbot, tapi kesannya beda, ya nggak, Ji?” Yasin ikut nimbrung. Aji tersenyum simpul.

“Betul. Marbot itu Markas Bocah Takwa!” Lutfhi langsung bersuara. Padahal yang ditanya Aji.

Tiba-tiba Bang Faisal ikut gabung dengan langsung nyomot tahu goreng plus cabe rawitnya.

“Malam-malam kayak gini, emang pasnya makan tahu goreng anget, plus cabe rawit pedes!” Bang Faisal buka obrolan.

Aji, Bimbim, Ryan, Imron, Yasin, dan Luthfi langsung melingkar (idih, uler? Bukan, maksudnya duduk berjejer membentuk formasi setengah lingkaran) di depan Bang Faisal.

“Didin ke mana, nggak kelihatan tadarusan?” tanya Bang Faisal.

“Tadi abis tarawih izin ke saya, Bang. Katanya mau anter bapaknya ke dokter. Sejak buka puasa tadi batuknya kambuh,” Imron ngasih keterangan.

“Innalillaahi. Semoga segera sehat kembali ya, bapaknya Didin,” Bang Faisal agak kaget. Lalu mulut mereka secara reflek mengucapkan “syafahullah” untuk kesembuhan ayahnya Didin.

Kemudian mereka larut dalam obrolan ringan dan segar. Tak lupa Bang Faisal menyisipkan pesan-pesan islami dan penyemangat kepada anak binaannya di Remaja Masjid Daarun Niaam, sebutannya Remaja Madani.

“Jadi, nggak apa-apa ya kalian disebut Marbot alias Markas Bocah Takwa?” Bang Faisal tersenyum lebar.

Ryan masih diem. Aji sih nggak masalah karena dia yang ngusulin.

“Iya, itu kan sekadar sebutan tak resmi. Sebutan resmi kan tetap Remaja Madani,” Aji ngasih penjelasan.

Aji beralasan kalo pun banyak nongkrong di masjid selama ini karena memang perlu dilakukan. Sejak usai pilpres kemarin beberapa masjid disantroni orang tak dikenal. Mereka mencoret beberapa bagian dinding masjid dengan tulisan-tulisan provokatif. Jadi memang harus ada yang jaga. Kisruh pilpres sampe sekarang masih memanas.

“Yuk ah, kita pulang. Siapa yang jaga malam ini?” Bang Faisal berdiri dari duduknya.

“Imron dan Yasin, Bang!” Aji ngasih selembar kertas berisi jadwal piket.

“Oya, Ji. Ide kamu melibatkan anak-anak kampung sebelah bagus juga. Mereka akhirnya bisa membaur dengan anak komplek. Anak-anak komplek juga mulai menerima. Semoga ukhuwah Islamiyah tetap kokoh, ya!” ujar Bang Faisal.

Jam sudah menunjukkan pukul 21:30. Masjid Daarun Niaam mulai digelapkan lampunya di beberapa titik. Tinggal Imron dan Yasin bercengkerama di teras masjid.[]

Sumber dari O.SOLIHIN

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.