Cinta yang Salah Jalan
By: RedRevolver
Siska memandangi layar ponselnya dengan senyum lebar. Ia baru saja mengunggah foto dirinya bersama Dimas, pacar barunya, dengan caption super cheesy: “Kalau ada kamu, dunia terasa lengkap. #CoupleGoals”. Foto itu mendapat puluhan like dalam hitungan menit. Bahkan beberapa teman alumni pondoknya ikut memberikan love.
“Lihat, Dim, bahkan teman-teman pondok gue aja mendukung kita!” serunya sambil menunjukkan layar ke Dimas.
“Ya iyalah, siapa yang nggak iri ngeliat kita? Kayak Romeo-Juliet versi zaman now,” sahut Dimas sambil merapikan rambutnya di kaca motor.
Siska terkekeh. Ia merasa hidupnya sempurna, seolah lulus dari pondok itu adalah babak baru yang penuh kebebasan. Semua pelajaran tentang adab, akhlak, dan larangan-larangan yang pernah diajarkan ustaz dan ustazahnya terasa seperti angin lalu.
Namun, di tempat lain, notifikasi foto tersebut menyentuh hati seorang remaja bernama Maya.
Maya, yang juga alumni pondok, memandangi foto itu dengan ekspresi campur aduk. Tangannya gemetar. Rasanya antara sedih, kesal, dan kecewa. Ia mengenang masa-masa bersama Siska di pondok, di mana mereka sering berlomba menghafal ayat al-Quran dan saling mengingatkan untuk menjaga hijab.
“Ya Allah, ini Siska yang dulu?” gumam Maya.
Saat matanya melirik ke bawah foto, ia lebih terkejut lagi. Beberapa santri yang dia kenal malah memberikan like!
“Laa hawla wa laa quwwata illa billaah,” ucap Maya sambil mengusap wajahnya. “Mereka tahu nggak sih, kalau me-like itu sama aja kayak mendukung kemaksiatan?”
Ia pun langsung membuka chat grup alumni pondok.
Maya: “Astaghfirullah, kalian nggak lihat IG Siska? Itu foto pacarannya di-like?!”
Ani: “Hihi, iya, lucu banget fotonya. Kapan ya aku punya pacar kayak Dimas?”
Maya: “Astaghfirullah, Ani. Kamu sadar nggak apa yang kamu bilang? Itu bukan lucu, tapi maksiat. Kamu me-like berarti setuju!”
Rani: “Lah, santai aja kali, Kak. Aku cuma nge-like, nggak ikutan pacaran.”
Maya: “Masih ingat hadits tentang amar makruf nahi munkar? Kalau kamu like, itu sama aja kamu nggak menolak, malah mendukung!”
Ani: “Serius amat, Kak Maya.”
Maya: “Serius itu wajib kalau udah urusan dosa!”
*
Tidak puas hanya lewat chat, Maya akhirnya memutuskan menemui Siska langsung.
“Sis, saya nggak habis pikir sama kamu,” Maya membuka percakapan sambil menatap Siska dengan tajam.
“Eh, kamu apaan sih, May? Tiba-tiba nyerang. Aku salah apa lagi?” Siska membalas dengan santai.
Maya menahan napasnya sejenak. “Kamu sadar nggak, foto yang kamu upload itu nggak cuma bikin dosa buat diri kamu, tapi juga buat yang like? Kamu tahu nggak itu hukum pacaran?”
Siska mendengus. “May, ini zaman modern. Pacaran itu biasa aja. Lagi pula, aku nggak lupa shalat, kok. Jadi santai aja.”
Maya langsung merogoh ponselnya dan membuka aplikasi Quran digital. Ia membacakan ayat tentang larangan mendekati zina dengan suara mantap. “Kamu ingat, kan? Walaa taqrabuu az-zinaa… Kamu ngerti nggak artinya? Jangan dekati zina!”
Siska terdiam. Untuk pertama kalinya ia merasa ucapannya lemah di hadapan Maya.
*
Malam itu, Siska merenung lama. Ia memandangi foto-fotonya bersama Dimas di Instagram. Hati kecilnya mulai terusik. Benarkah ini yang harus ia lakukan?
Namun, keesokan harinya, saat ia mencoba menjauh dari Dimas, teman-temannya di sekolah justru menertawakannya.
“Serius, Sis? Balik ke mode anak pondok lagi? Hahaha, yang bener aja!” celetuk salah seorang temannya.
Siska merasa bingung. Ia ingin berubah, tapi lingkungannya tidak mendukung.
*
Di sudut lain dunia maya, Maya tetap gigih menyusuri jalan dakwahnya. Ia tak gentar menegur teman-teman yang dengan santainya me-like foto-foto Siska. “Hey, kalian tahu nggak, setiap jempol yang kalian kasih itu sama aja kayak bilang ‘gue setuju banget, nih!’ Padahal, ini dosa, Bestie!” katanya dengan gaya khasnya yang blak-blakan tapi penuh makna.
Ani dan Rani, yang awalnya cuma senyum-senyum nggak jelas, akhirnya mulai merenung. “Ya ampun, aku pikir nge-like itu cuma iseng. Nggak nyangka efeknya sampai segitunya,” gumam Ani sambil memandangi jempolnya yang selama ini kerja keras di media sosial.
Sementara itu, Siska berada di persimpangan jalan. Ia mulai sadar, hidup seperti ini nggak akan membawa bahagia, apalagi berkah. Tapi, di tengah niatnya untuk hijrah, teman-teman di sekolah masih aja sibuk menjadikannya bahan lelucon. “Kembali ke mode pondok? Gaya banget lo, Sis!” sindir salah satu temannya.
Namun, seberat apa pun langkahnya, perubahan sekecil apa pun adalah awal yang berarti. Siska mulai pelan-pelan mengurangi unggahan foto-fotonya. Ani dan Rani juga belajar memikirkan ulang setiap double tap di Instagram. Mereka kini paham, apa yang terlihat sepele di dunia nyata ternyata bisa punya dampak besar di akhirat.
Seperti sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang selalu terngiang dalam benak Maya: Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barang siapa dari kalian melihat kemungkaran, ubahlah dengan tangannya. Jika tidak bisa, ubahlah dengan lisannya. Jika tidak bisa, ingkarilah dengan hatinya, dan itu merupakan selemah-lemahnya iman.” (HR Muslim, dan HR Muslim, no. 49)
Maya mungkin hanya seorang alumni pondok yang biasa, tapi langkah kecilnya untuk menegur dengan lisan telah membuka pintu kesadaran bagi banyak orang.
Dan begitulah, di dunia yang penuh hiruk-pikuk ini, tak ada langkah kebaikan yang sia-sia. Sekecil apa pun usaha kita menegakkan kebenaran, insya Allah, semuanya akan dihitung sebagai amal shalih. Terus bergerak di jalan yang benar. Sebab, perjalanan menuju Allah selalu dimulai dari niat yang tulus, meski langkahnya kecil.[*]
Sumber tulisan: REDREVOLVER
Recent Comments