#3 Engkong Japra

#webseriesramadhan | Serial Marbot Madani | By: O. Solihin

Hidupnya sebatang kara. Anak tak punya. Istri sudah lama meninggal dunia. Usahanya adalah jualan kue cubit, kadang-kadang martabak unyil. Berkeliling sepeda tua miliknya menjajakan dagangannya dari satu sekolah ke sekolah lain. Usianya sudah 60 tahun.

Engkong Japra sering mampir di Masjid Daarun Niaam ketika waktu shalat Dhuhur tiba. Semangat ibadahnya bagus. Biasanya Engkong Japra seusai melaksanakan shalat berjamaah, melepas lelah dengan gogoleran di teras masjid.

Tapi kalo bulan Ramadhan, Engkong Japra libur jualan. Waktunya lebih banyak digunakan untuk beribadah. Salah satunya Masjid Daarun Niaam yang sering ia tuju. Engkong Japra bukan orang komplek. Ia warga kampung sebelah komplek. Cuma lebih dekat ke masjid komplek ketimbang masjid kampung. Ada jalan masuk hanya untuk kendaraan roda dua dan pejalan kaki. Ditutup setiap jam sebelas malam dan dibuka portalnya jam lima pagi.

“Engkong, udah berapa lama sih jualan kue cubit dan martabak unyil?” tanya Aji suatu ketika saat menjumpai Engkong Japra sedang istirahat usai shalat Dhuhur berjamaah.

“Alhamdulillah sudah 15 tahun, Nak!” Engkong Japra menjawab singkat.

“Bikin sendiri atau ambil dari tempat lain, Kong?” Aji penasaran.

“Engkong bikin sendiri,” jawabnya singkat.

“Denger-denger Engkong tinggal sendiri ya di rumah?” Aji melanjutkan obrolan. Mencoba mengorek informasi.

“Iya. Sejak Nyai meninggal dunia lima tahun lalu,” mata Engkong berkaca-kaca.

“Eh, maaf ya Kong. Jadi sedih kelihatannya, nih,” Aji buru-buru minta maaf.

“Kagak ape-ape. Udah biasa dapat pertanyaan begini,” Engkong Japra memaksakan diri tersenyum.

Aji masih mengingat obrolan tempo hari dengan Engkong Japra. Meski udah tahu tentang orangtua itu, tapi jujur dirinya baru banyak tahu tentang kondisi Engkong Japra setelah ngobrol langsung.

Engkong Japra pantang minta-minta meski hidup sebatang kara. Ia tak mau menjadi beban orang lain. Harus punya martabat, begitu prinsipnya. Engkong Japra memang mandiri. Tak ada anak, dan istri pun sudah tiada. Rumah sederhana miliknya hanya berukuran 6×7 meter persegi. Dua kamar tidur, ruang tamu, ruang tengah, kamar mandi, dan dapur. Bangunan tua itu konon adalah harta berharganya yang ia punya dari jerih payahnya menjadi seorang karyawan pabrik tekstil yang sudah gulung tikar beberapa bulan sebelum Engkong Japra pensiun.

“Beda dengan anak zaman sekarang. Nggak mau kerja keras. Bisanya cuma nodong sama orangtua. Padahal, sekolah udah pada lulus. Bukannya nyari kerjaan, malah banyak nongkrong dan banyak jajan,” pesan Engkong Japra suatu ketika kepada Aji setelah menceritakan masa lalunya yang keras.

Pikiran Aji kemudian melayang jauh. Melihat dirinya sendiri yang masih sekolah, melihat anak-anak komplek yang udah kuliah. Lalu membandingkan dengan perjuangan Engkong Japra di masa lalu. Ditinggal wafat ayahnya saat Engkong Japra kelas 3 sekolah rakyat. Hidup bersama ibunya. Bertahun-tahun pindah-pindah kontrakan. Ibunya buruh cuci. Engkong Japra adalah anak tunggal karena ibunya tak menikah lagi setelah ayahnya wafat.

“Ji, ada temannya tuh!” ibunya memanggil dari balik pintu kamarnya. Membuyarkan lamunannya tentang Engkong Japra.

“Iya, Bu. Sebentar,” Aji buru-buru bangun dari tempat tidurnya.

Setelah membuka pintu, Aji dibuat kaget karena Luthfi ngasih kabar bahwa Engkong Japra baru saja dibawa polisi karena diduga terlibat aksi terorisme.

“Nggak mungkin. Ini pasti salah tangkap,” Aji menggelengkan kepalanya.

Lalu ia teringat suatu hari saat Engkong Japra bicara menyampaikan bahwa sebelum Ramadhan ada beberapa orang tak dikenal sering terlihat duduk-duduk atau berkeliling di sekitar rumahnya.

“Mungkinkah itu bagian dari kenyataan yang hari ini menimpa Engkog Japra?” batinnya.[]

Sumber dari O. SOLIHIN

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.