Puzzle

By: 341

 

“Bi…, bantuin Umi ya bikin puzzle buat minggu depan” rengek istriku semalam. Baru aja doi dua bulan kuliah di PGTK Darul Qalam. Tapi tugas-tugas dari dosen yang memeras keringat, waktu, tenaga, pikiran, dan isi dompet udah ngantri setiap minggunya.

Dan sore ini, aku tengah berburu tukang lukisan buat bikin gambar puzzle. Seingatku, biasanya suka ada pelukis amatir yang buka galeri misbuk (kalo gerimis pada sibuk mengevakuasi lukisannya) di pinggir jalan. Tapi sayangnya, perburuan sore itu tanpa hasil. Sepertinya para pelukis amatir itu kapok kali jualan di Kota Hujan ini. Lagian, orang mah ngelukis pake cat minyak, ini pake cat tembok. Ya luntur kalo keujanan.

Dalam kebuntuan, tiba-tiba aku teringat pada salah satu adik pengajianku di Ponpes Miftahul Falah yang jago ngelukis. Tanpa ba-bi-bu apalagi pa-pi-pu, langsung kubelokkan motorku ke arah Ma’had di Layung Sari.

Yah…telat deh. Ternyata menurut penuturan Aziz sang pentolan santri, Usman udah lama nggak nyantri. Sekarang doi kuliah di El-Rahma jurusan Pendidikan Komputer Design Grafis (PKDG).

 ooOoo

Alhamdulillaah, kamis siang aku berhasil menemui Usman di kampusnya. Kuutarakan maksudku. Doi nggak keberatan untuk ngasih bantuan. Malah sanggup beresin lukisannya dua hari lagi alias hari Sabtu. Asalkan dibantu nyediain cat, papan untuk media lukis, plus gambar perahu layar buat modelnya. Siip! Itu sih kecil. Tinggal cat yang belum aku siapkan.

Keesokan harinya, kubawa tiga kaleng cat kayu sesuai pesanan Usman dalam plastik kresek. Berhubung Usman belon datang, kutitipkan pada seorang staf pegawai El-Rahma.

Nggak kerasa, waktu dah sampe ke Sabtu pagi. Saatnya ambil lukisan. Setibanya di El-Rahma, tumben ruang loby steril dari mahasiswa atawa mahasiswi yang biasanya asyik ngebongkar belanjaan gosipnya. Yang ada cuma petugas bagian informasi. Akhwat lagi. Aku jadi sungkan mau pinjem uang, eh mau tanya tentang Usman.

“Wacks! Gimana urusannya nih? Kok Usman nggak bilang kalo Sabtu doi libur” batinku menggerutu saat akhwat itu bilang kalo Sabtu mahasiswa libur.

Satu-satunya jalan hanya datengin rumah Usman. Semoga temen-temen di Ma’had ada yang tahu rumah Usman. Duuh… mana hari udah sore lagi.

Untung ada Karya. Santri yang rumahnya di Tajur Halang juga, mau nganter aku ke rumah Usman besok siang. Tapi postur badannya yang padat berisi bikin aku was-was. Soalnya kalo tetep maksa pake Astrea 800-ku ke rumah Usman, bisa-bisa shock breaker-nya gempor nih.

ooOoo

“Jadi nggak ya..?” Batinku masih ragu menjelang keberangkatanku menjemput Karya. Bukan karena jauhnya rumah Usman, tapi karena aku nggak dapet armada yang lebih baik dari Astrea 800-ku. “Ah….bonek aja deh!” tekad batinku.

Kupacu motorku menelusuri jalan berliku, menanjak, menurun, serta menikung ke arah Cihideung yang bikin mesin motorku depresi. Sementara di belakang, Karya yang kubonceng asyik merem melek karena kelilipan. Hihihi…

Jalan ke rumah Usman kudu melewati bebatuan terjal. Udah gitu, pinggiran jalannya masih dihiasi tumbuhan liar dan semak belukar. Sepi bin hening dari tanda-tanda kehidupan. Gimana nggak merinding kalo melewati jalan itu di malam hari. Nggak heran kalo angkot yang ke arah rumahnya paling berani narik penumpang cuma sampe maghrib. Nah lho?

Lamunanku buyar di hadapan jalan menanjak dengan kemiringan 45 derajat. Kuhentikan motor. Kutarik napas dalam-dalam. Ngeri juga nih motor nggak kuat nanjak. Bukan cuma karena kemiringannya, tapi juga karena lubang besar dan bebatuan terjal yang menghiasi jalan. Kuturunkan gear ke satu, kugas perlahan untuk memilih jalan yang agak mulus. Sambil berdoa tentunya.

“Wow….wow….wow….Ya, tahan!!!” teriakku saat sampai di tengah tanjakan. Tiba-tiba ban depan motorku terangkat saat kuhindari lubang yang menganga. Karya yang kaget refleks menurunkan kakinya untuk menahan motorku yang berjalan mundur dan hampir terjungkir. Kucondongkan badanku ke depan sambil menginjak rem kaki dan menarik rem tangan. Fwuh…! Hampir saja terjadi aksi akrobatik.

Napasku terengah-engah. Debar jantungku berdetak dengan cepat. Keringat dingin membahasahi kening. Aku menoleh ke belakang. Eh, Karya malah ketawa-ketiwi melihatku yang panik mengendalikan motor.

Terpaksa di dua tanjakan curam berikutnya, Karya kudu rela berjalan kaki dengan napas hah-heh-hoh menaiki tanjakan. Sementara aku asyik nanjak pake motor.

“Sorry Ya, bukannya balas dendam. Emang motornya nggak kuat nahan berat badan antum. Hehehe…..”

Mendekati daerah rumah Usman, pemandangannya begitu menakjubkan. Refleks kulafadzkan pujian-pujian bagi yang Maha Kuasa. Pepohonan hijau dengan hamparan sawah dan ladang yang bertingkat seolah membentuk anak tangga menuju puncak bukit. Suasananya yang asri dan menyejukkan itu dimanfaatkan oleh penduduk kota Metropolitan untuk membangun rumah peristirahatan. Malah ada juga villa yang disewakan. Berminat? Hubungi saya di….eh, kok jadi ngiklan sih. Ini khan lagi cerita. Ups, Sorry!

Akhirnya sampai juga di rumah Usman. Rumahnya yang bercat putih berpagar besi merah bata termasuk paling bagus di antara tetangganya yang sebagian besar mendiami rumah panggung.

ooOoo

“Aduh..Kang maaf, bukannya saya nggak mau ngerjain, bukannya saya nggak ada waktu, tapi….” Ba’da tahmid wa salam, Usman langsung minta maaf dengan gaya Mpok Minah tetangganya Bajuri. “Ada apa nih? Sepertinya ada yang nggak beres?” batinku bertanya-tanya. Jantungku berdetak dua kali lipat lebih cepat.

“Jum’at kemaren, orang yang kang Hafidz titipin seharian nggak ketemu. Dia baru ngasih cat itu Sabtu malam pas lagi ada rapat di kampus. Padahal malam itu saya nggak pulang ke rumah karena rapat selesainya larut. Jadi ….” Usman berhenti sejenak.

“…papan lukisan itu belum diapa-apain.” Sambungnya.

Gubraks! Jantungku serasa terjun bebas menimpa usus besar denger penjelasan Usman. Udah capek-capek berpetualang, yang didapat berita buruk. Sial bener nasibku.

Demi menebus rasa bersalahnya, Usman menawarkan diri untuk beresin tuh lukisan dan janji besok Senin pagi jam enam bisa diambil di Ma’had. Aku kehilangan antusian denger penawaran Usman. Tapi mau gimana lagi? Kuanggukkan kepala menyetujui tawarannya. Kita pun permisi pulang. Untuk kesekian kalinya, kupulang dengan tangan hampa.

ooOoo

Senin jam 6 pagi. Lima jam sebelum waktu pengumpulan puzzle. Aku sudah tiba di Ma’had tanpa mandi atau sarapan pagi. Semalam aku janji akan mengantarkan puzzle itu ke kampus istriku tepat pada waktunya jam 11 pagi pas dosen Media Pengajaran nagih tugas puzzle-nya. Pede banget nih.

Jam 7 pagi dengan sisa waktu 4 jam. Usman? Nothing. Jangan-jangan Usman ngumpetin batang hidungnya, jadi nggak keliatan. Padahal peralatan gergaji, hampelas, kuas, dan kertas koran sudah kusiapkan untuk merampungkan puzzle itu di Ma’had.

Jam 8 pagi dengan sisa waktu 3 tiga jam. Sial, Usman masih belum datang. Di kampusnya juga belum ada. Mau kontak rumahnya, belon masuk sambungan telepon.

Jam 8.10 pagi dengan sisa waktu 2 jam 50 menit. Usman masih belon nongol. H2C banget nih. Kuputuskan datengin rumah Usman. Untung kemaren sepulang dari rumah Usman, Karya nunjukkin jalan alternatif lewat Pondok Bitung-Ciapus yang mulus, tanpa bebatuan, tanpa tanjakan, turunan, tikungan, dll yang bikin motorku depresi.

Jam 08.50 dengan sisa waktu 2 jam 10 menit. Tiba di rumah Usman dengan penuh harap. Kuucapkan salam sampai tiga kali. Tapi nggak ada jawaban. Tetangganya keluar dan ngasih tahu kalo Usman udah berangkat kuliah dan Ibunya lagi ada keperluan. Langsung kukeluarkan ponselku dari saku, kudial no El-Rahma meski sinyalnya lemah banget. Padahal kartunya indosat nih. Rupanya, Usman emang udah sampe dan lagi ikut jam kuliah.

Kudial nomor Ma’had. Kali aja Usman udah menitipkan lukisannya di sana. Ternyata perkiraanku meleset. Usman nggak mampir ke Ma’had. Bah! Macam mana Usman ini! Aku makin tak kuasa menahan kesal. Aku pamit dengan tergesa-gesa pada tetangga Usman. Lalu kembali kupacu motorku menelusuri Pondok Bitung menuju El-Rahma.

Jam 09.30 dengan sisa waktu 1 jam 30 menit. Aku tiba di El-Rahma. Sialnya Usman lagi kuliah dan nggak bisa diganggu gugat. Mataku jelalatan menjelajahi ruang loby. Kali aja Usman menaruh lukisannya di sekitar sini. Yes! Itu dia. Kuambil sebilah papan yang terbungkus plastik hitam. Keperiksa isinya. Nggak salah. Inilah lukisan yang kuburu. Aku segera pamit ke petugas informasi dan titip pesan buat Usman kalo lukisannya sudah diambil. Breeem….!

Jam 09.45 dengan sisa waktu 1 jam 15 menit. Tiba di Ma’had. Langsung ku parkir motor lalu membongkar peralatan tukang yang sudah kusiapkan. Aziz kebagian tugas motong papan lukisan. Dan aku sibuk memotong papan triplek untuk alas puzzle. Suara berisik gergaji kayu memecah kesunyian Ma’had. Situasi makin berabe karena cat lukisannya masih agak basah. Jadinya terkelupas di lantai dan alas koran ketika di gergaji. Walah! Gambar kapal layar itu jadi penuh jerawat. Terpaksa deh kubergegas ke matrial terdekat beli kuas lukis buat nambal bagian yang terkelupasnya. Iiih…..ada-ada aja deh!

Jam 11.00 dengan sisa waktu injured time (kaya sepak bola aja). Sambil menunggu cat tambalan di lukisan yang lagi dijemur kering, aku nyapu lantai Ma’had yang penuh serbuk gergaji. Keringat segede biji jagung bercucuran membasahi jidatku dan Aziz. Aku berhutang budi banyak pada jomblo yang satu ini. Kurapihkan peralatan tukang yang aku bawa. Kugantungkan di motor untuk dibawa pulang. Setelah agak kering, kubungkus papan puzzle dengan koran. Setelah pamitan, kupacu motorku menuju kampus istri. Pasti sang istri tengah cemas menunggu. Sabar ya Mi….

ooOoo

Jam 11.15 aku tiba di kampus istri. Kulihat banyak mahasiswi PGTK kelas pagi yang baru bubaran. Suara riuh saling bersahutan kayak di pasar burung aja. Ada yang teriak-teriak manggil temennya biar pulang bareng dan diongkosin. Ada yang asyik nyanyi lagu anak-anak sambil ditepukin temen-temennya. Kuamati sekeliling tak kutemukan sosok istriku.

“Hayoo… lagi nyariin siapa?” sapa suara merdu yang menepuk pundakku dari belakang.

“Eh, …Umi. Ya nyariin Umi. Masa Umi yang laen. Hehehe….Gimana? Udah telat ya? Berapa bulan? Eh, Afwan. Nih hasilnya.” Kutunjukkan puzzle hasil karyaku dibantu Aziz. Memang hasilnya nggak terlalu bagus. Beberapa bagian papan lukisan ada yang terkelupas karena terbuat dari beberapa lapisan triplek yang dipress. Parahnya, cat tambalan tadi masih belum kering sempurna. Jadinya nempel di alas koran. Waduh!

Senyum manis yang terukir di wajah cantik istriku lambat laun pudar berganti guratan kecewa. Lama dia mengamati lukisan kapal layar dengan cat kuning di bagian badan kapal.

“Maaf ya Mi…hasilnya kurang memuaskan.” Ucapku getir

“Hmm….gak papa Bi. Makasih banyak Abi udah ngusahain.”

“Bener Mi nggak papa?” Aku masih belum yakin.

“Bener. Kebetulan tadi dosen Media Pengajaran telepon. Katanya dia nggak bisa ngajar. Jadinya tugas ini nggak dikumpulin sekarang.” Tutur istriku datar.

Hah! Gubraks![]

Bogor, 04 Oktober 2004

Buat Kang Aziz, Usman, Karya, serta Astrea 800 kesayanganku. Makasih banyak. Semoga Allah membalas kebaikan temen-temen. Jangan kapok ya… ^_^

 

Sumber: Majalah SOBAT Muda, Edisi 03/November 2004

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.