Sabila Mujahidah
By: Sophie Nabila
Sudah satu tahun semenjak Wafa Idris, tetangga sekaligus guruku, pergi menghadap-Nya. Yahudi Laknattullah itu terus memburu kami. Mereka memasuki rumah-rumah kami secara paksa, dan menggeledahnya. Alasan mereka sangat tidak masuk akal. “Kami mencari teroris yang kalian sembunyikan” seru para serdadu Israel.
“Huh, nyari teroris, maling teriak maling. Yang teroris itu kan mereka sendiri”. Teriakku dalam hati. Aku masih ingat peristiwa di penampungan pengungsi sipil milik PBB di kota Qana Lebanon. Saat itu usiaku baru delapan tahun. IDF (Israeli Defence Forces) mebombardir tempat penampungan warga sipil dari udara. Saat itu banyak sekali saudara-saudara kami yang syahid. Aku, orang tuaku, dan beberapa muslim Palestina lainnya, termasuk beruntung. Karena kami pada saat itu sedang berada diluar kamp. Sekitar 500 orang meninggal.
Kini kami tinggal di perbatasan Israel-Palestina, di Tepi Barat Jalur Gaza. Aku sering tertawa mendengar kata perbatasan. Karena bagiku, itu bukan perbatasan. Wilayah ini milik kami, ummat Islam. Walaupun usiaku baru 14 tahun, aku tahu dari sejarah dan guruku, Wafa Idris, bahwa Israel adalah penjajah yang mencaplok wilayah Palestina. Perbatasan dan perundingan yang digelar hanyalah kedok dan muslihat mereka untuk mengusir kami. Dan aku yakin itu. Kami tidak mungkin dibiarkan hidup oleh Yahudi-Yahudi tersebut. Oleh karena itu, aku bercita-cita untuk menjadi ahli persenjataan dan menghancurkan mereka.
“Hei, bocah jelek, jawab pertanyaanku. Di mana kau sembunyikan orang-orang Wafa Idris?” bentak serdadu berhidung bengkok tepat di hadapan mukaku. Yah, sejak guruku syahid dengan membunuh warga Yahudi, Faksi Fatah mendirikan brigade baru bernama Wafa Idris Brigade.
“Aku tidak Tahu” balasku di hadapan muka si hidung bengkok.
“Bocah tengik! Rasakan ini, ‘Plak’!” serdadu itu menampar mulutku.
“Ah” ibuku menjerit.
“Jangan siksa dia, dia masih kecil” ayahku berteriak memohon. Aku sendiri merasakan pipi dan bibirku terasa panas, tapi aku tetap diam tidak bergeming. Ya, aku harus kuat. Ini hanya siksaan kecil. Tidak lebih berat dibanding Bilal sahabat Rasul yang digencet dengan batu panas di siang hari.
“Kalau kau sayang pada putrimu, bekerjasamalah dengan kami” bujuk serdadu lainnya yang bermata licik dengan senyum menyeringai dan memandangku dengan sudut mata liciknya.
“Tapi kami tidak tahu apa-apa” ibuku bersuara lantang. Ya, Ibu adalah wanita yang kuat. Beliau hanya menangis sebentar ketika empat orang kakak laki-lakiku syahid dibunuh tentara Israel.
“Baiklah” si hidung bengkok menjawab. “Kami bawa putrimu, kalian ingat-ingat lagi dengan baik!”
“Sabila, ingat nak, Laa Takhofuu wa laa tahzanuu, Innallaha ma’anaa”. Ayahku yang sedari tadi diam di hadapan ujung AK-14 serdadu yang bertampang macan, mengingatkanku. Aku tersenyum getir. Aku paham, bunyi ayat tersebut. Ya, Ayah, Ibu walaupun aku seorang perempuan, tapi cita-citaku sama dengan cita-cita kakaku almarhum. Menjadi mujahidah dan mati syahid. Tiga orang serdadu yang memasuki rumah kami menyeretku ke dalam jip mereka.
“Ayah, Ibu, doakan aku agar aku tetap istiqomah” jeritku dalam hati.
ooOoo
“Uh, perutku sakit, pandanganku berkunang-kunang, bahkan sering terasa gelap”. Penjara tempat aku ditahan ini sangat lembab, dan dingin. Tiap malam aku kedinginan, dan sekarang adalah hari ketiga aku tidak diberi makan. Yah, semenjak aku masuk penjara, para Yahudi itu sering tidak memberiku makan berhari- hari. Mereka pun kadang mengikatku di tempat tidur, dan jika mereka memanggilku, itu artinya penyiksaan tambahan buatku. Para penjaga perempuan sangat senang memukuliku, terutama di bagian kepala.
“Kepalamu kan ditutup kalau keluar dari penjara ini, jadi tidak akan ada yang melihat kepalamu retak atau berdarah” wanita bertubuh gempal dengan seringai serigala, seringkali mengatakan itu.
“Kepalaku sakit sekali, bahkan seringkali aku tidak sadarkan diri jika mereka memukuliku”. Tapi itu tidak seberapa dibandingkan penyiksaan yang dilakukan oleh para serdadu laki-laki. Mereka sengaja mengunjungi tawanan perempuan hanya untuk mereka “tonton”.
“Dia manis”, seorang sedadu bermata sipit dengan bola mata agak juling mengatakanya pada penjaga perempuan bertubuh gempal. Aku gemetar, dia menunjukku. Seumur hidup, aku baru merasakan penyiksaan yang membuatku ingin bunuh diri. Serdadu-serdadu Israel itu berusaha membuka baju kusam penjara yang kukenakan, dan menggerayangi tubuhku. Rasanya aku ingin mati. Otakku berfikir cepat untuk mengakhiri tindakan mereka.
“Grekk” kugigit sekuat tenaga telinga serdadu bermata kucing.
“Ahh, sialan, bocah tengik ini,”
“Rasakan,” gertakku dalam hati. Tidak cukup satu orang, aku tendang, pukul, gigit, dan berbagai perlawanan kulakukan pada para serdadu jahanam itu. Satu per satu serdadu itu pergi sambil menggerutu,
“Perempuan sialan! Kupingku panas, hidungku berdarah. Cari yang lain saja, yang sudah kurang tenaganya” mereka pergi.
“Ya Allah tolonglah, selamatkan saudariku yang lain”, doaku. Aku sebenarnya tidak tahu berapa jumlah muslimah Palestina yang ditahan di penjara ini. Selama ini aku sendirian di selku.
Mereka memaksaku mengatakan tempat saudari-saudariku yang menjadi aktivis jihad. Setelah tiga hari aku tidak makan, mereka selalu menanyakan hal yang sama sambil memukuliku. Aku memang tidak tahu. Walaupun aku ingin menjadi aktivis jihad seperti mereka, namun aku masih dianggap terlalu muda dan belum memiliki pengetahuan tentang senjata dan bom seperti para seniorku. Aku pun tidak pernah diberitahukan tempat pertemuan para aktivis dan siapa saja yang menjadi aktivis. Aku benar-benar tidak tahu. Mereka terus memaksaku mengatakan tempat yang tidak kuketahui. Kalaupun aku tahu, lebih baik aku mati daripada mengatakannya.
Hari ini mereka memberikan pakaian baru dan memberiku makanan enak. Tanpa pikir panjang, aku santap semuanya. Ya, aku harus kuat untuk menjadi mujahidah. Aku dibawa ke sel lain. Kali ini aku bertemu saudari muslimah yang bernasib sama di penjara Israel.
“Assalamualaikum”, sapaku.
“Wa alaikumsalam”, jawabnya.
Namanya Aminah. Dia sudah dipenjara selama satu tahun, dia lebih tua sepuluh tahun dariku. Kondisinya sangat memprihatinkan. Matanya cekung, tulang pipinya menonjol, hidungnya yang mancung semakin terlihat tinggi. Kulitnya pucat, bibirnya kering dan berdarah, giginya ompong, tubuhnya, hanya tinggal kulit membungkus tulang. Tapi perutnya, “Astaghfirullah, dia hamil”.
“Kenapa, kaget?” kau baru masuk ya, beginilah, hasil para jahanam itu”.
“Tapi jangan khawatir, tidak ada yang sia-sia di mata Allah, kita harus tetap memperjuangkan Islam dan kemuliaan untuk umat, kita tidak boleh berhenti mengusir Yahudi-Yahudi Laknatullah itu”. Suaranya membuat jantungku bergetar, mengingatkanku pada ibu dan guruku.
“Ukhti, kau hamil?” tanyaku seolah tak percaya.
“Ya, ini adalah salah satu strategi mereka untuk menghabisi kita, mereka memaksa kita untuk melahirkan anak-anak Yahudi ini, tapi aku takkan menyerahkannya”
“Nanti jika para Feminist datang, aku akan menyerahkan anakku pada aktivis feminist muslim” jawabnya.
“Feminist?” tanyaku heran.
“Mereka para aktivis wanita terdiri dari muslim dan Yahudi, mereka diberi izin untuk mengunjungi kita dan membuat laporan tentang kondisi kita pada dunia luar,” jelas Aminah.
“Tapi mereka kan feminist? Mereka tidak satu visi dengan kita!” seruku. Aku pernah mendengar dari guruku, tentang para muslimah dan wanita Yahudi yang membuat organisasi wanita untuk memperjuangkan hak-hak wanita Palestina. Tapi aku tidak suka pada mereka, pikiran mereka sempit, mereka menyuruh kita untuk bekerjasama dengan orang-orang Israel hanya untuk kemerdekaan semu. Mereka juga menyuruh kami para siswa untuk melepas jilbab dan kerudung kami. Mereka menganggap kami dikekang karena kerudung dan jilbab ini. Padahal kami berjilbab karena kami ingin diridloi Allah. Ini hanya salah satu ketaatan kami pada Sang Pencipta. Tapi mereka tidak mengerti, mereka telah terasuki pemikiran Barat.
“Aku hanya akan meminta pada aktivis wanita muslim agar memperhatikan hak anak ini. Anak ini berhak untuk mendapat perlindungan dari keluargaku yang sesama muslim. Tujuanku agar anak ini tidak jatuh ke tangan Yahudi jahanam itu. Mereka tidak punya hak atas anak ini. Anak ini harus menjadi mujahid,” suara serak Aminah tercekat dengan air mata dan kemarahan bersatu.
“Amiin” seruku.
“Anakmu akan menjadi pejuang Islam seperti Salahuddin al-Ayyubi” Aku berdoa, Ya Allah kabulkanlah.
Hari ini, pantas saja mereka memberiku makan enak. Mereka menyuruhku menemui para aktivis wanita itu. Para aktivis wanita itu memegang tanganku, sambil menanyaiku bermacam-macam pertanyaan tentang perlakuan para serdadu dan penjaga sel padaku. Si wanita gempal, memelototiku agar aku tidak menceritakan yang sebenarnya. Aku tersenyum dalam hati, kenapa mereka takut, padahal seluruh dunia sudah tahu kejahatan mereka. Hanya saja banyak kaum muslim yang pengecut, tidak mau mengambil risiko karena takut pada Amerika Serikat. Mereka lupa bahwa Yang Maha Kuasa dan Maha besar adalah Allah bukan AS.
Aku menjawab pertanyaan mereka secara jujur, aku katakan semua penyiksaan yang ku alami. Dan aku katakan bahwa temanku sedang hamil tua tapi ditempatkan di sel yang lembab dan gelap. Semua jawabanku mereka catat. Mereka berjanji akan memperjuangkan nasib kami.
Beberapa hari kemudian, Aminah melahirkan, dan dia pun syahidah, tapi para aktivis wanita itu tidak kunjung tiba. Padahal mereka berjanji akan menolong Aminah. Aku memang sudah menduganya dan tidak terlalu berharap pada mereka. Anaknya bayi laki-laki, kurus, pucat, dan tampan. Dia seperti Aminah tampaknya. Serdadu Israel membawa pergi bayi itu. Aku takut, bayi itu adalah anak muslim, dia harus dibesarkan oleh muslim lagi. Dia harus menjadi seperti Salahuddin al-Ayyubi, pahlawan favoritku.
ooOoo
Sudah lima bulan aku disini, kondisiku tidak berubah. Penyiksaan demi penyiksaan aku alami. Tubuhku kini telah terbiasa dengan dingin dan lembabnya malam. Tanpa selimut dan alas untuk tidur. Rambutku mulai rontok, dan kepalaku sering terasa sakit, karena sering dibenturkan ke tembok dan dipukul dengan palu. Mungkin tengkorakku retak, dan aku mengalami pendarahan otak. Itulah yang sering kudengar dalam pelajaran sekolah. Aku ingat ibu dan ayahku. Apa yang sedang mereka lakukan?
Aku tersenyum sendiri membayangkan mereka sedang berdoa, mendoakan aku supaya tabah dan tetap istiqomah. Sesekali aku bergidik bila membayangkan kedua orang tuaku sedang disiksa oleh tentara Israel. Kulantunkan ayat al-Quran yang kuhapal. Demikian indah ayat ini, bercerita tentang syurga bagi orang-orang mukmin. Ya, Allah masukkanlah aku ke dalam syurga-Mu, demikian juga orang tuaku, saudara-saudaraku, dan seluruh ummat Islam yang mentaatimu, dan memperjuangkan agamaMu. Hancurkan Yahudi Laknatullah itu. Amiin. Sekelilingku pun gelap dan tubuhku serasa melayang. []
Kisah ini ditulis berdasarkan kisah nyata penyiksaan yang dilakukan oleh tentara Israel terhadap tahanan wanita muslim Palestina dalam www.star-arabia.com edisi Januari (31-6) 2002, Issue No.79
Sumber: Majalah Permata, Edisi 17/Oktober 2003
Recent Comments