Jangan Ganggu Aku, Shinta

By: Syahid alFatih

 

Lalu apa yang membuat aku tertarik dengan gadis itu? Bukankah aku berjuluk lelaki tangguh, yang tak mudah tergoda oleh seorang wanita? Kenapa detik ini hatiku menjadi takluk dan membiarkan benakku terombang-ambing oleh wajahnya?

Ah, Shinta. Sungguh aku ingin menghilangkan namamu dari kepala. Seharusnya otakku sudah dijejali hukum-hukum Newton serta Avogadro, Phytagoras serta Logaritma, tetapi mengapa justru namamu yang selalu hadir?

Anganku mestinya membayangkan perguruan tinggi mana yang akan kumasuki, memilih kota mana yang akan kutempati, tapi mengapa wajahmu yang selalu bermain-main dalam khayalku?

Mengapa, Shinta? Aku seharusnya marah padamu, karena telah menggangguku malam ini! Tapi tak bisa. Dalam khayalan-khayalan tentangmu ada rasa indah yang mengalir, ada taman bunga dalam kisi-kisi pikiran, ada harum yang menyeruak, mengisi sarat-saraf otakku.

Kututup buku fisika yang sejak dua jam tadi kupegang. Semuanya telah kubaca. Kinematika, Kepler, Atom, Transistor, seluruhnya telah kuraup dan kuhapal. Ya, semua judulnya aku hapal. Tapi entah isinya. Terbang tidak tahu ke mana. Mungkin melayang ke rumah sang gadis bersama khayal yang datang ke taman imajiku.

Hhh… Aku menarik napas panjang. Seorang juara umum sekolah tak bisa menghapal materi dalam dua jam? Huh, aku tersenyum kecut.

Woi, UAN tinggal tiga bulan lagi!

Ah, aku terkejut jika ingat akan hal ini.

Kini aku berbaring di atas kasur yang lepek. Menerawang memuaskan inginku. Mungkin aku butuh tiga puluh menit untuk membiarkan angan ini mengembara. Mengkhayalkan Shinta dengan senyum kecilnya, dengan mata indahnya, dengan jilbab anggunnya. Setelah itu aku bisa kembali belajar!

Ah, dasar! Benakku malah jalan-jalan di kawasan waktu yang sebenarnya ingin kututup. Tentang prestasi-prestasi nonakademik yang pernah kuraih. Tentang tembakan-tembakkan cinta para gadis yang ingin menembus dada ini. Tentang seseorang berseragam putih abu yang datang padaku sore itu.

“A’ Adit, ini ada titipan surat,” seorang gadis berlari kecil ke arahku.

“Ehm, ehm. Aditya dapet surat nih….!” beberapa teman cowok yang sedang duduk-duduk di kantin menggodaku. Ya, aku memang pantas mendapatkan godaan itu. Seorang lelaki kutu buku sepertiku mana mungkin dapat surat? Kecuali ajaib yang menyampaikannya.

“Ya udah, A’ Adit, saya pergi dulu ya. Ada latihan Paskibra nih.” Gadis kecil itu berlalu, ditemani tatapan heranku.

Di pojok kamarku, dada pun bergemuruh ketika menelusuri tinta biru pada helaian merah muda.

 

Candamu, tawamu, cerdasmu,

adalah khayal yang tak pernah bisa kusibak

 

Inginku memeluk canda-canda itu

Supaya aku bisa berenang di dalamnya

 

Bermandikan tawamu adalah imajiku

dalam balutan purnama yang membulat

 

Bisakah canda itu kuraih, dan kudekap erat dalam pelukku?

 

yang selalu merindukanmu,                                      

Sri.

 

Hai, aku bukan seorang penyair yang bisa begitu saja menerjemahkan puisi tingkat tinggi. Tolong, jangan ungkapkan kata sederhana dengan bahasa mengangkasa!

Lalu aku menanyakan maksud puisi ini pada Ali, seorang sahabat sekaligus pakar cinta yang tak diragukan lagi kredibilitasnya.

“Ha..ha.. ha…! Lo bego banget sih. Ini kan surat penembakan.” Duh, aku tidak suka tawamu, Ali! Aku serius! Mata mayaku melotot.

“Penembakkan apa, Li? Penembakkan burung?” Aku tidak tahu, ikut bercanda atau pura-pura bego?

“Sri ingin jadi pacar lo!”

“Ah, masa sih?”

Ah, masa sih? Tiga kata itu bermain-main di benakku. Seperti gema yang memantul di bukit-bukit. Disertai awalan senyum dan akhiran tawa. Sumpah, baru kali ini aku mendapatkan penembakkan dari seorang gadis secara formal. Dulu, pernah juga ada seseorang gadis yang menyatakan cintanya padaku secara lisan. Tapi aku tak terlalu menghiraukannya. Aku menyangka dia cuma bercanda.

Selain itu, aku sudah mempunyai prinsip: ’Aku tidak akan pernah punya pacar kecuali sang istri kelak’.

Semua kata ini menggumpal sebagai komitmenku pada diri. Lingkungan religi yang sejak kecil kudapatkan menempaku untuk mengatakan ‘No’ pada makhluk berjuluk ‘PA-CA-RAN’. Walau ketika tembakkan-tembakkan itu menghujamku, jujur, aku tetap menikmatinya. Ya, seperti malam ini. Ketika katanya Sri menyatakan cintanya.

Ah, Sri. Tak pernah terbersit sedikit pun kau bisa mencintaiku. Padahal apa kelebihan yang kumiliki? Tak ada. Kecuali secuil ilmu yang semua siswa pun mendapatkannya.

Sungguh, aku tak pernah menyangka, Sri. Di balik sikap diammu ada rasa yang mengalir dalam darahmu. Aku benar-benar tak menduga.

Lalu kutulis sehelai bait pada sebuah kertas putih.

 

Cinta itu datang seperti angin yang tinggi

Hinggap, dan pergi entah kemana

Tapi ada satu cinta yang takkan pernah lekang

Seperti jari penghias tangan

Cinta sesama muslim

Yang kini kupersembahkan untukmu

 

Aditya

 

Ah, puisi jelek ini jadi juga kulipat, kumasukkan ke amplop biru, dan Ali sudah siap mengantarkannya esok. Tapi aku jadi berpikir kembali, apakah Sri akan mengerti dengan maksudku? Sebenarnya aku ingin mengatakannya dengan jelas. Aku takkan pernah punya pacar. Aku hanya mencintainya, tak lebih cinta sesama muslim. Tapi Ali menolaknya mentah-mentah.

“Kuno! Hutang puisi bayar dengan puisi dong!”

Ah, kini mengapa wajah Shinta kembali menggelitik memoriku?

ooOoo

 

Kali ini aku dan Shinta sedang berjalan berdua di sebuah taman. Di pinggir danau kecil yang airnya begitu jernih. Panorama teramat indah di sini, tapi hatiku lebih terpaut pada wajah putih berbingkai khimar biru di sampingku.

“Shinta, kamu tahu apa yang membuat aku tertarik padamu?”

“Apa?” Matanya menengadah, memancarkan kilauan cahaya yang membuat batin ini damai.

Aku balas memandang matanya lekat.

“Akut tertarik dengan sholihahmu yang berdamping jilbabmu, cantikmu yang berdamping matamu ….”

“Cukup ah!” Shinta mencubit pangkal lenganku. Pipinya bersemu merah dan tertunduk.

Selanjutnya kami menuruni bibir danau. Menjulurkan kaki pada air jernihnya. Dingin. Lembut. Ditemani tiupan angin senja.

“Kamu nyaman dengan ibuku, Shinta?”

“Mengapa kau tanyakan itu?”

“Karena permasalahan semua istri yang pertama adalah dengan mertuanya, terutama dengan mertua wanita.”

Kini Shinta menatapku kembali, dengan mata beningnya tentu.

“Kau tahu sekali, A’. Pengalaman ya?” tawa kecil menghias bibirnya.

Kini senyum manis itu bagai cermin dalam riak-riak air danau. Perlahan menghilang. Berganti dengan bentuk oval jam dinding kamarku yang sedang mengeja waktu.

Tiga puluh menit lewat sudah. Cukup! Hayalku sampai di sini! Tak ada ruang untuk berimaji! Saatnya untuk studi! Walau aku menyesal karena harus menghapus skenario impian yang telah kususun rapi bersama Shinta.

Aku menghampiri meja belajar, menghampiri Biologi, Fisika, Matematika, Kimia, Bahasa Ingris, dan semua yang soal-soalnya akan membantaiku pada try out esok. Tapi kembali wajah Shinta yang mendekat.

Shinta…, please! Jangan ganggu aku! Aku mau belajar! Mengapa wajahmu selalu menggangguku?

Aneh memang, dulu aku tak pernah merasakan rasa seperti ini. Padahal bertubi-tubi tembakkan gadis-gadis itu menohokku.

“A’, selamat ya…!” Esti, memandang ke arahku.

“Selamat apa?”

“Sok pura-pura ah…!” Ia tersenyum.

“Eh, selamat yang mana nih? Jangan-jangan saya salah tangkap.”

“Emang bola, pake ditangkap-tangkap segala.” Ia kembali tersenyum.

“Apa dong?” Aku ikut tersenyum.

“Selamat, semester ini juara umum lagi.”

Tak hanya ucapan, Esti memberikan sekuntum bunga mawar saat itu. Menurut teman-temanku, bunga pun bisa dijadikan sebagai simbol ungkapan cinta seorang gadis. Ah, waktu itu hatiku berbunga, lebih mekar dari bunga yang gadis itu berikan.

Banyak. Banyak lagi gadis yang melemparkan cintanya padaku. Mereka dengan terang-terangan maupun terselubung menyatakannya. Ada Novi, Anggi, Endah dan seabrek. Aku hampir lupa nama-namanya.

Tapi waktu itu rasa cintaku tak tumbuh. Selain karena terbentengi dinding religi yang kokoh, mungkin juga rasa itu tengah terbang. Walau entah di mana. Atau masih terdampar di dasar samudra? Dan kini mencuat, menggelegar, meningggi, meledak, serta membanjiri sekujur tubuhku.

Seperti malam ini, ledakkan cinta itu membuat aku tersiksa dengan rasanya, terbakar dengan resahnya.

“Haruskah aku menyatakan cinta ini pada Shinta?” Aku berbisik pada buku, pada angin, juga pada malam yang pekat.

“Nyatakan saja! Kamu akan terbunuh jika memendamnya.” Suara itu datang dari suara hati.

“Tidak! Imanku takkan goyah! Tak mungkin kudobrak semua keyakinan yang sudah kudesain dengan rapi!”

“Alah, persetan dengan keimananmu. Apa kamu mau, hidup tersiksa dalam bayang-bayang dirinya? Sedangkan kamu tak tahu sedikit pun apakah dia mencintaimu atau tidak.”

Hhh… Aku menarik napas panjang. Kubolak-balik kumpulan soal matematika di hadapanku dengan tatapan kosong.

“Ya, ya. Pertanyaan itu menarik sekali. Saya tidak tahu Shinta mencintaiku atau tidak. Jangan-jangan, dia tidak memikirkanku sama sekali.” Aku kembali berbisik.

“Ah, itu tak mungkin. Tidakkah kamu ingat, setiap kamu menatapnya dia selalu tersipu?”

“Ya, aku tahu.”

“Dia selalu tersenyum jika bertemu denganmu!”

“Aku juga sadar akan hal itu.”

“Lalu, apakah kau tidak merasakan, di balik pertanyaan-pertanyaannya tentang matematika, fisika, dan semuanya, ada rasa yang terpendam di dalam dadanya?”

Ah, betul juga. Selama ini Shinta selalu menunjukkan sikap tak wajarnya kepadaku. Bahkan berlebih, lebih jika dibandingkan sikapnya terhadap pria-pria lain di kelas.

“Tapi itu bukan alasan untuk menyatakan cinta kepadanya kan?”

“Alah, kamu munafik! Tembak saja!”

“Pake apa? Aku tidak punya bedil.”

“Ha…ha…ha…” Suara hati tertawa. Suaranya yang besar dan kasar persis seperti suara keledai yang sedang meringkik. “Jangan bercanda. Katakan saja, ‘aku mencintaimu’.”

Ah, tidak! Tabu. Tabu aku mengatakan dua kata itu, yang bagi teman-temanku mungkin sudah seperti molekul-molekul CO2 yang mudah saja keluar dari mulut mereka.

Aku diam.

“Ayolah! Besok, ketika tidak ada seorang pun di kelas. Katakan saja kalimat sakti itu!” Suara hati kembali membisik di telingaku.

“Tapi itu tak bisa. Agamaku tak memberiku izin untuk melakukannya!”

“Ah, sok suci! Kamu mau, ujianmu hancur gara-gara seorang gadis?”

“Tidak.”

“Makanya.”

“Makanya apa?”

“Nyatakan cintamu dengan segera! Sebelum dia mendidihkan otakmu. Kamu tidak mau mati gara-gara terlalu memikirkan dia kan?”

“Ya, aku tak mau mati. Aku juga tak mau malam ini terlewat tanpa satu rumus pun yang mengendap di kepalaku.”

“Makanya.”

“Makanya apa?”

“Nyatakan cintamu dengan segera! Atau telepon saja dia di rumahnya malam ini juga.”

Aku diam dengan pikiran yang mengembara. Kutatap bulan purnama melalui jendela. Bulat. Tak ada sabit sedikit pun.

Perlahan kualihkan pandanganku pada gagang telepon di atas meja belajarku.

Ragu.

“Alah…, sudahlah. Jangan banyak berpikir. Lebih cepat lebih baik.”

Aku tak menghiraukannya. Kutatap kembali bulan yang kini sedikit terhalang awan. Lalu kualihkan kembali perhatianku pada gagang telepon. Desahan-desahan napasku bersaing dengan suara malam.

“Ah, sejak kapan kau menjadi pengecut, Adit?”

Aku diam.

“Nggak berani?”

Aku masih diam.

“Huh, kukira kejantananmu setinggi awan. Ternyata kau banci…!”

Perlahan aku mengangkat gagang telepon. Aku berpikir sejenak. Tapi akhirnya kuberanikan juga memijit tombol nomor-nomor yang barusan hanya kutatap.

Tujuh angka telah kupijit dengan sempurna.

Tut…

Suara lembut Shinta sudah tergambar dalam benakku.

“Hallo…Assalaamu’alaikum!” Suara lembut itu kini hadir.

“Wa’alaikum salam. Shinta?”

“Ya, saya sendiri. Ada apa, Dit?”

Masya Allah, begitu mudahnya dia mengenal suaraku.

“Nggak. Saya ingin mengatakan sesuatu.”

“Apa?”

“S-Saya…, saya… “ Ah, kutarik napasku perlahan.

“Ada apa?”

Aku masih diam.

“Dit?”

“Aku ingin mengatakan sesuatu ke kamu.”

“Iya. Apa?”

“Maaf, saya membencimu malam ini, Shinta!” Kututup telepon tanpa menunggu jawaban Shinta. Kudengar suara hatiku mengerang. Dia marah. Dia kecewa. Ah, aku tak peduli!

Maafkan aku, Shinta.[]

Jatinangor, 1 April 2005

 

Tentang Penulis:

Syahid al-Fatih adalah nama pena dari Nana Supritana. Nana masih kuliah di Jurusan Fisika Universitas Padjadjaran Bandung. Pernah menjadi Juara I Tingkat Nasional Lomba Cerpen Pekan Jurnaslistik Kampus 2005 STIS Jakarta. Nana juga aktif di FLP Bandung. E-mail: syahid_alfatih@yahoo.com

 

Sumber: Majalah SOBAT Muda, Edisi 17/Maret 2006

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.