Koreanesia

By: Eryani Widyastuti

 

Percayakah kamu, jika hidup ini seperti sebuah jaring laba-laba?

Manusia saling terhubung satu sama lain melalui relasi-relasi yang tak terduga. Kita tidak hanya terhubung dengan manusia-manusia yang kita kenal, tumbuh di lingkungan yang sama, atau berada di negara yang sama saja. Tetapi, kita juga terhubung dengan mereka yang terpisah daratan, lautan, samudra, zona waktu, juga… negara.

ooOoo

 

Indonesia, bulan purnama, pukul 19.00 WIB.

Bramantyo Seto. Biasa dipanggil Bram. Seorang lelaki, berumur 21 tahun, baru saja mendapatkan pekerjaan bagus di sebuah perusahaan asal Korea yang membuka cabang di Indonesia. Saat ini, ia bersama Bapak, Ibu, dan adik perempuannya, sedang duduk di sebuah kursi bambu panjang di pelataran belakang rumah mereka nan asri. Dinaungi oleh kerindangan pohon mangga, mereka bercakap-cakap sembari menikmati suasana malam.

“Lelaki itu, kalau masih muda, punya pekerjaan berprospek cerah, biasanya sering larut mengejar karir. Lupa, bahwa masih ada tahap kehidupan lain yang harus ditempuh.” Kata Bapak.

Ah, topik ini lagi. Batin Bram.

Semenjak lulus kuliah dan memutuskan mencari kerja, Bapak beberapa kali menyatakan kalimat itu di depannya. Bram sangat paham; Bapak tidak ingin dirinya sibuk mengejar karir hingga lupa untuk… mencari seorang istri.

“Mau menikah sama siapa? Mas Bram kan tidak pernah punya pacar. Percuma deh, penggemar banyak, tapi enggak ada yang nyantol!” Alin, adik perempuannya yang terpaut tujuh tahun, cekikikan menggoda.

“Hush!” Ibu, yang duduk di sebelah Alin, melambaikan tangan dengan cepat, seakan hendak mengusir kata-kata yang keluar dari mulut adiknya.

Sebenarnya, bila ditilik dari penampilan, Bram cukup menarik. Berpostur tinggi, tegap, dengan kulit coklat gelap. Sepasang matanya teduh mengayomi, dinaungi alis tebal yang memberi kesan ketegasan di wajahnya, dan jenggot pendek rapi yang tumbuh di dagunya seolah mencerminkan kedewasaan berpikirnya. Selain itu, tindak tanduk Bram juga sopan dan tenang. Tak heran, banyak gadis yang jatuh hati.

Namun, setiap kali tertarik pada seorang gadis, hati Bram selalu berbisik. Belum. Ini bukan waktu yang tepat untuk jatuh cinta. Akan kusimpan perasaan ini untuk istriku kelak…

Lalu, Bram mengembalikan fokus perhatian pada studinya, pada lembar-lembar bukunya, berinteraksi dengan keluarganya, dan menyalurkan energi mudanya ke dalam olahraga futsal.

“Eh, sekarang, coba Mas Bram lihat bulannya. Lalu bayangkan; calon istri Mas Bram yang masih misterius itu, pada saat ini, juga sedang menatap bulan yang sama. Romantis, kan? Seperti dalam dongeng-dongeng…” Lanjut Alin.

Bram tidak menyahut. Dipandangnya bulan purnama berbentuk bulatan penuh berwarna oranye. Menurutnya, mirip tablet effervescent vitamin C raksasa. Tapi, diam-diam, perkataan Alin merasuk dalam otaknya, dan menerbangkan imajinasinya. Tentang seseorang. Seseorang yang bahkan ia sendiri tidak mengenalnya.

Hening sekejap.

“Kamu itu, kok ya termakan omongan Alin, Bram… Bram!” Suara Ibu menyadarkan Bram yang kentara melamun menatap bulan.

“Hahahahaha!”

“Mas Bram payah, nih! Suka berkhayal juga kayak aku!”

Bram cuma nyengir, saat ditertawakan oleh keluarganya. Dalam-dalam, ia menghirup udara malam yang dingin, hingga memenuhi rongga paru-parunya.

Aku sedang mencarinya. Dan, pasti akan aku temukan. Perempuan yang ditakdirkan Allah untukku.

ooOoo

 

Korea Selatan, purnama yang sama, pukul 9 malam waktu Korea Selatan. Dua jam perbedaan waktu dengan Indonesia bagian barat.

Uwaaa, jinjja…yeoppeuda*…. ” (*sangat cantik)

Kim Boram. Biasa dipanggil Boram. Seorang gadis Korea berumur 23 tahun, sederhana, berpenampilan tipikal bangsa orental; rambut lurus panjang, mata sipit, dan kulit putih. Ia mendongakkan kepala ke langit. Pada wajahnya yang sedang sendu itu, tersirat sifat tegar akibat tempaan kehidupan.

Saat ini, ia sedang sendirian di teras rumah, sambil mengupas sebaskom besar bawang putih. Menikmati kecantikan sang bulang purnama, yang cahayanya berpendar menerangi langit, seolah hendak menjadi matahari malam.

Suasana malam yang indah dan syahdu. Mengantar rasa rindu merayapi hatinya. Mulanya, muncul kerinduan terhadap Eomma-Appa*. Kemudian, ia merasa rindu pada seseorang yang entah siapa dan entah kapan akan menjadi bagian dari hidupnya kelak. Selanjutnya, ia hanya merasa rindu. Hanya begitu. Tidak tahu kepada siapa. Kerinduan yang aneh, ganjil, namun mendamaikan. Kerinduan yang sama, yang selalu ia rasakan semenjak kecil, ketika terdiam dalam sunyi memandangi langit. (*Ibu-Ayah)

Ada sesuatu yang amat-amat-amat BESAR dan AGUNG. Bumi dan langit seakan dipeluk oleh sebuah KEKUATAN MISTERIUS.

Greek! Suara pintu geser dibuka dari dalam. Seorang lelaki remaja jangkung, berkacamata bingkai hitam dan berpakaian serba hitam, melangkah keluar. Ia, Kim Yeonghun, adik lelaki Boram satu-satunya yang berusia 19 tahun.

Nuna, mweo hago isseoyo*?” Tanya Yeonghun. (*Kak, sedang apa?)

Boram tersipu mengetahui Yeonghun mendapatinya sedang melamun. “Ah, aniyo*….” Ia kembali mengupas bawang putih. (*ah, tidak)

Mengupas bawang putih adalah sebuah pekerjaan sambilan. Ada industri rumah tangga yang membutuhkan banyak sekali bawang putih untuk digunakan dalam pembuatan produknya. Boram tak menyia-nyiakan kesempatan ini. Sepulang dari pekerjaan utamanya sebagai pengantar pesanan Jajangmyeon* , ia memanfaatkan waktu luang dengan melakukan apa saja; pekerjaan yang baik, dan bisa menghasilkan uang. (*mie saus kedelai hitam ala Korea)

Harus menghasilkan uang…

Ia butuh uang untuk menghidupi dirinya sendiri dan adiknya yang sekarang sedang kuliah. Orangtua mereka telah meninggal dalam sebuah kecelakaan. Yeonghun menjadi satu-satunya anggota keluarganya yang masih tersisa. Di dunia ini, mereka berjuang berdua, bahu membahu mengatasi aral rintang kehidupan. Dan Boram, sang kakak, mengambil tanggungjawab utama. Ia bahkan rela tidak melanjutkan kuliah demi bertahan hidup dan menyokong masa depan adiknya.

Arasseo…. Haneuli, yeoppeujianhni*?” (*Aku mengerti… Bukankah langitnya indah?)

Boram tersenyum senang mendengar perkataan Yeonghun. Harapan mengembang memenuhi hatinya. Ya, indah. Semoga, seindah hidupku, kelak, di masa depan…

ooOoo

Indonesia, tiga bulan kemudian.

Bram memasuki ruang keluarga dengan langkah mantap. Ia membawa sesuatu yang penting. Sebuah kabar. Bahwa ia dipindahtugaskan oleh perusahaannya ke Kantor Pusat di Korea Selatan.

Bapak Ibu terhenyak. Terutama Ibu. Wajah beliau pias, tampak merasa sangat kehilangan dan khawatir.

“Terus, siapa yang akan mengurus keperluanmu di sana? Makan minumnya bagaimana? Tinggal di mana? Kamu punya kenalan di sana?” Ibu memberondong Bram dengan berbagai pertanyaan bernada cemas.

Bram melingkarkan tangan, memeluk Ibu. “Bu, aku sudah dewasa… Aku bisa mengurus diriku sendiri. Nanti, akan kuceritakan semua urusan teknisnya.”

Ibu menatap Bram sebentar, lalu berkata, “Anak lelakiku mau pergi jauh…”

Sebuah senyum bangga tersungging di bibir Ibu. Biarpun, kedua mata beliau berubah sayu.

Hari perpisahan pun tiba. Bram diantar keluarganya ke bandara internasional. Hari itu, Bapak tak banyak bicara. Hanya menepuk-nepuk pundaknya dengan kuat. Ibu berkali-kali mengusap pelupuk mata. Sedangkan Alin malah menangis heboh tak mau berhenti.

“Mas Bram tidak boleh pergi…! Pokoknya Mas Bram tidak boleh pergi…!” Alin memegang erat lengan Bram hingga terasa sakit.

“Ayo, Alin… jangan begitu… malu dilihat orang-orang…” Bapak dan Ibu berusaha menarik Alin. Namun setiap kali lepas, adik perempuannya itu kembali mencengkeram lengannya. “Aku ikut…! Aku ikut…!”

Kejadian tersebut membuat banyak kepala menoleh ke arah keluarga Bram. Orang-orang yang berlalu lalang memandang aneh kepada mereka.

Dasar, Alin...!

Dengan perasaan jengkel karena kekeraskepalaan adiknya, malu karena menjadi pusat perhatian, bercampur sedih karena hendak berpisah dengan keluarga, Bram pun mengajak Alin menepi agak jauh dari keramaian, meninggalkan Bapak Ibu untuk sementara.

“Alin… dengar…; Alin… dengarkan aku…” Kata Bram berusaha menyaingi suara tangis adiknya.

Ia tahu, Alin pasti berat melepaskan dirinya, karena mereka berdua mempunyai ikatan kakak-adik yang kuat. Bahkan, terkadang, Bram merasa seperti orangtua kedua bagi Alin. Menasehatinya di kala bandel, dan menghiburnya di kala sedih.

“Aku janji… aku janji…” Lanjutnya agak panik, ingin segera mengakhiri drama ini. “…lulus SMA nanti, kamu boleh ke Korea Selatan, menyusulku. Aku akan menyekolahkanmu di sana.”

Tangis Alin berhenti. “Janji?”

Bram mengangguk. “Ya, aku janji.”

Ditandai dengan lepasnya cengkeraman tangan Alin dari lengannya, Bram melangkah menuju masa depannya. Menyusuri jalan yang harus ia tempuh sendiri.

 

Korea Selatan, pada bulan yang sama dengan kabar kepindahan Bram ke Kantor Pusat.

Boram mengupas bawang putih dengan perasaan kesal. Wajahnya terlihat kaku. Menahan amarah.

Nuna…, tak usah kau pedulikan laki-laki semacam itu. Dia memberimu harapan karena cuma ingin mempermainkanmu.” Hibur Yeonghun yang duduk di sampingnya.

Mweo*??” Boram bertambah kesal mendengar komentar Yeonghun. Ia mengupas bawang dengan gerakan lebih kuat. (*apa)

Ups! Yeonghun menelan ludah. Rupanya, ia salah bicara tadi.

“Kenapa tidak pernah ada laki-laki yang mau serius denganku? Kenapa mereka semua seakan menyukaiku, tapi setelah aku mendekat, mereka malah pergi? Wae*?? Apa aku ini terlalu buruk sebagai perempuan??” Boram berbicara dengan nada tegas dan tinggi. (*kenapa)

Yeonghun hanya terdiam. Menurutnya, tidak ada yang salah dengan kakaknya. Boram adalah wanita berkarakter kuat. Mungkin, itu sebabnya, para lelaki mundur setelah mengenalnya lebih dekat. Mereka tidak bisa menaklukkan sifat kakaknya.

Cress!

“Ah! Eomma!” Boram meringis kesakitan. Tak sengaja, jari telunjuknya teriris pisau.

Aigo…hati-hatilah sedikit…” Yeonghun segera mengambil lap untuk menghentikan pendarahannya.

Boram menatap adiknya. Kedua bola matanya berkilat basah. “Aku benar-benar wanita yang bodoh. Makanya, tidak seorang pun mau menikahiku.” Ucapnya ketus bercampur sedih.

Aniyo. Bukan begitu. Mereka memang tidak pantas untukmu. Suatu hari nanti, pasti ada laki-laki yang sangat baik yang akan menikahimu. Karena nuna-ku adalah wanita yang sangaaaaaat….baik!”

Kali ini, kata-kata Yeonghun berhasil. Boram tersenyum, agak tersipu.

 

Korea Selatan, Itaewon-dong, musim salju, tahun kedua.

Selama bekerja di Korea Selatan, Bram tinggal di sebuah apartemen sederhana di daerah Itaewon. Beruntunglah. daerah ini merupakan pusat komunitas muslim Korea Selatan, yang pastinya menyediakan berbagai macam kebutuhan yang sesuai dengan hukum Islam. Dibandingkan teman-teman muslim senegaranya yang tinggal di daerah-daerah lain, Bram merasakan banyak kemudahan di sini. Ia tak perlu bingung mencari makanan yang halal. Bila ingin beribadah, Masjid Besar Itaewon yang bernuansa biru-putih-abu siap menyambut kedatangannya. Juga, ia menemukan banyak saudara baru dari berbagai negara. Saudara baru dalam iman.

Ting tong!

Bel apartemen berbunyi. Bram bergegas menuju pintu. Mengintip siapa yang datang dari lubang pintu.

“Oh,” Senyumnya, sambil membuka pintu. Senyum pertama Bram untuk hari ini. Dari tadi, hatinya terus dibekukan oleh cuaca musim salju. Bagaikan berada di ‘freezer dalam freezer’. Dobel dingin. Sangat dingin.

“Assalamu’alaikum!” Seorang pemuda berkebangsaan Korea, tinggi-kurus, memakai kacamata bingkai hitam, berjaket tebal warna hitam, menyapa Bram di depan pintu. Suara beratnya terdengar lebih tua daripada umurnya.

“’Alaikum salam! Ah, Brother! Yeonghun-ssi! Annyeong haseyo!” Bram memberikan pelukan persahabatan, lalu mengajak tamunya masuk. Ia sangat bersyukur, ada seseorang di tanah asing ini yang berbaik hati mengunjunginya malam-malam.

Beuram-ssi! Maaf terlambat! Tadi, saya terlalu asyik mengerjakan tugas kuliah sampai lupa kalau kita ada janji malam ini.” Sahut Yeonghun dengan dengus yang menimbulkan kepulan asap.

“Kita bisa tunda pertemuan ini lain waktu. Kerjakan saja tugas kuliahmu dulu.”

Yeonghun menggeleng mantap. “Tidak mau. Saya sudah kehilangan waktu belajar Islam selama sembilan belas tahun. Banyak sekali ketinggalan yang harus saya kejar.”

Bram mengangguk-angguk senang. Merasa tertulari oleh semangat anak muda satu ini. “Bawa apa?” Tatapnya heran pada termos makanan di tangan Yeonghun.

Aah… I geo….samgyetang, masisseoyo*!” Yeonghun mengacungkan jempol, kemudian meletakkan termos warna putih itu di meja. Samgyetang adalah sup ala Korea dengan ayam utuh yang di dalamnya diisi nasi. (*i geo: ini; masisseoyo: enak)

Bak pucuk dicinta, ulam pun tiba. Sedari tadi, Bram memang sedang kelaparan. Udara beku membuat perutnya sering merasa keroncongan. Cepat-cepat disiapkannya alat makan, dan dibawa ke meja berkaki pendek tempat ia makan dan beraktifitas. Tak berapa lama, mereka berdua telah duduk di lantai beralas bantal, siap menyantap makanan yang terhidang di meja. Sambil menikmati sup hangat, mereka pun bercakap-cakap akrab dalam bahasa Korea.

“Uwah… sedap sekali! Sup ini beli di mana?” Bram menyeruput segarnya kuah kaldu ayam yang direbus bersama ginseng, jahe, dan bawang putih ini.

Nuna saya yang membuatnya. Dia memang pandai memasak.” Jawab Yeonghun. Mulutnya sibuk mengunyah daging ayam muda berwarna putih dan bertekstur lembut.

Jika ditilik dari hitungan waktu, Bram belumlah lama mengenal Yeonghun. Sekitar satu tahun lalu, mereka bertemu ketika sholat berjamaah di Masjid Itaewon. Mereka berdua menemukan kecocokan ketika berbincang. Keakraban tersebut berlanjut di luar masjid. Entah mengapa, walaupun berbeda bangsa, Bram mudah saja menyukai pemuda ini. Yeonghun ramah, baik, dan tidak disibukkan oleh dandanan, layaknya pemuda-pemuda Korea yang setiap hari ia temui di jalan. Sesuatu yang diprihatinkan Bram selama berada di Korea. Penampilan Yeonghun sangat biasa. Namun di balik itu, tersembunyi sosok seorang mahasiswa peraih beasiswa, dan mualaf muda yang memeluk Islam karena pencariannya sendiri. Bram sungguh salut.

“Sampaikan terimakasihku pada nuna-mu.” Bram menyendok kuah dan potongan daging ayam plus nasi dari rantang. Menambah porsi makannya. Yeonghun cuma mengangguk-angguk. Ia tidak bisa menyahut, sebab mulutnya penuh makanan.

“Siapa namanya? Nuna Yeonghun-ssi?” Tanya Bram sedikit berbasa-basi.

“Kim Boram.” Jawab Yeonghun sambil menutupi mulutnya yang sedang mengunyah.

Lalu, muncul pertanyaan lain di benak Bram. Dengan hati-hati, ia bertanya lagi. “Ketika Yeonghun-ssi memeluk Islam, bagaimana reaksinya?”

Yeonghun menyeka mulutnya yang agak basah karena kuah sup. “Boram-nuna tidak begitu peduli. Dia cuma bilang: Bagus, bagus. Sekarang kamu sudah jarang marah-marah. Dan lebih sopan padaku.

Bram agak terkejut. Ia belum pernah menjumpai Yeonghun marah atau emosi yang berlebihan. “Kamu suka marah-marah?”

“Sedikit. In English term: Bad mood. Sebab, nuna saya cerewet sekali!”

Bram menahan tawa. Ia teringat keceriwisan adiknya sendiri. Alin sering berkomentar macam-macam dan bertanya tentang ini-itu kepadanya.

“Tapi…biar pun begitu. Dia tetap nuna yang baik. Orangtua kami meninggal karena kecelakaan. Sejak itu, Nuna berhenti kuliah, dan bekerja untuk membiayai hidup kami. Beuram-ssi tahu, tangannya sungguh kasar untuk ukuran seorang perempuan. Dan, tangan itu selalu berbau bawang putih. Dia mengupas bawang putih setiap hari supaya mendapat upah. Dia melarang saya untuk membantu. Katanya, saya harus fokus belajar, supaya menjadi orang sukses. Tidak perlu bekerja keras seperti dia.”

Tanpa sadar, Bram dan Yeonghun sama-sama berhenti makan.

“Boram-ssi, hebat sekali. Jarang ada perempuan seperti itu jaman sekarang.” Komentar Bram. Lubuk hatinya tersentuh oleh cerita Yeonghun.

“Benar. Jarang ada perempuan Korea seperti dia jaman sekarang. Dia itu… aneh. Hobinya hanya bekerja dan memasak. Tidak suka make-up, tidak suka mini-skirt, tidak suka ke noraebang* untuk karaokean, tidak suka alkohol — karena orangtua kami meninggal ditabrak oleh seorang pemabuk. Mungkin itu sebabnya, tidak ada pria yang mau menikah dengannya sampai sekarang.” Yeonghun mengangkat bahu beserta sudut kanan bibirnya secara bersamaan. Lalu, melanjutkan makan. (*tempat karaoke)

Bram terdiam. Ada desir-desir aneh di dalam dadanya. Desir-desir itu membuatnya mengucapkan sesuatu di luar kesadarannya.

“Saya rasa, terlalu banyak laki-laki bodoh di dunia ini. Mereka tidak bisa melihat perempuan istimewa seperti Boram-ssi. Mereka menilai terlalu dangkal.”

Kini, gantian Yeonghun yang terdiam.

Merasa kikuk atas komentarnya sendiri, akhirnya Bram mengalihkan perhatian. “Ah! Malam ini, lanjutkan baca Qur’an atau mau diskusi saja?”

Sudah setengah tahun lebih, Yeonghun belajar membaca Qur’an pada Bram. Setelah itu, biasanya, mereka berdiskusi. Sebagai seorang muslim yang memeluk Islam sejak lahir, Bram merasa ikut bertanggungjawab untuk membimbing Yeonghun yang mualaf.

“Baca Qur’an, setelah itu diskusi. Bagaimana?” Sahut Yeonghun dengan pandangan menyala-nyala, penuh semangat. “Saya ingin berdiskusi tentang Surah Al-Ikhlas.”

“Baiklah.” Sambut Bram mantap.

Korea Selatan, Distrik Itaewon, malam bersalju yang sama.

Aigo….! Siapa yang menghabiskan samgyetang-ku?!” Boram mengaduk-aduk isi panci di dapur. Yang tersisa hanyalah sedikit kuah tanpa ada remah daging ayam sedikitpun.

Ia baru saja pulang ke rumah. Berharap menikmati sup yang sudah dimasaknya sebelum keluar rumah tadi. Ia kedinginan dan kelaparan sekarang.

Emosinya merayap naik. Hanya satu orang yang terbayang di pelupuk matanya. Satu orang yang harus diadili malam ini. Ia berjalan cepat menuju kamar adik laki-lakinya.

Tok! Tok! Tok!

Boram mengetuk keras-keras pintu kamar adiknya. “Yeonghun-ah! Bagaimana bisa kamu menghabiskan…”

Krieeet….

Pintu kamar itu terbuka karena terdorong ketukan keras tangan Boram. Rupanya, pintu itu tak tertutup dengan baik. Boram berjalan memasuki kamar. Lampunya masih menyala. Yeonghun seringkali lupa untuk mematikannya.

Sepi.

Ia menghampiri meja belajar Yeonghun. Ingin tahu, apa yang dikerjakan adiknya sebelum pergi. Buku-buku dan alat tulis terserak di atas meja. Ada pula beberapa yang jatuh di bawah. Secara naluri, Boram memunguti buku-buku yang tergelatak di lantai. Setelah itu, ia bermaksud merapikan kondisi meja yang berantakan.

“Sepertinya dia terburu-buru. Tidak biasanya adikku meninggalkan kamar tanpa merapikannya terlebih dahulu.”

Kemudian, matanya tertumbuk pada sesuatu. Sebuah buku yang terbuka.

Buku itu. Buku aneh itu. Yang sering dibaca oleh adiknya. Dalam buku itu tercetak huruf-huruf Hangeul Korea. Juga, huruf-huruf lain. Huruf asing. Adiknya pernah bercerita, itu adalah huruf Arab.

Entah apa yang mengilhami Boram untuk duduk, kemudian membaca lembar yang terbuka itu.

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang

Katakanlah: “Dialah Allah, Yang Maha Esa.

Allah adalah Tuhan yang bergantung kepadaNya segala sesuatu.

Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan.

Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.”

Hening.

Terpaku.

Sejurus kemudian, kepala Boram terasa ringan. Dadanya seperti berlubang. Tubuhnya kosong tak berbobot. Matanya masih tetap menatap rangkaian kalimat-kalimat itu.

Hananim*! Tiba-tiba hatinya menjerit. (Tuhan)

Sekonyong-konyong, seluruh tubuh Boram seolah memberat. Membatu. Melemah. Dadanya sesak. Buku-buku dalam genggamannya terlepas begitu saja.

Ia bingung dengan apa yang terjadi pada dirinya. Matanya mencari-cari sesuatu yang ia sendiri tidak tahu. Kini, jantungnya berdebar kencang. Dan hatinya terus menjerit: Hananim!

Beberapa kelebat ingatan lewat. Eomma-Appa memanggil namanya sambil tersenyum, adiknya yang suka mengganggunya waktu kecil…, lalu…air.

Gemericik air.

Yeonghun sering melakukan ini di rumah ketika ia hendak sembahyang menurut agama barunya. Seperti ada yang membimbing, Boram menuju kamar mandi, dan menghidupkan keran. Ia tidak tahu apa yang akan dilakukannya. Ia hanya membasuh dan terus membasuh. Wajahnya, kepalanya, tangannya….

Tiba-tiba ia merasa sangat kotor dan sangat bersalah.

Boram menangis. Tangis yang menyesakkan dada. Ia menahan suara tangisnya, namun membiarkan dadanya meledak lewat kucuran air mata yang tak berhenti mengalir.

Katakanlah: Dialah Allah…Katakanlah: Dialah Allah….

Tulisan itu hadir dalam pikirannya, bagai suara yang mengiang-ngiang di telinga.

Hananim!

 

Korea Selatan, Salam Restaurant dekat masjid Itaewon, tiga bulan kemudian, seusai sholat Dhuhur.

Boram memandang keluar jendela restoran. Beberapa laki-laki berpenampilan khas Timur tengah dengan jenggot tebal, baju gamis, serta tutup kepala, berlalu lalang lewat depan restoran ini. Mereka tampak mencolok dengan cara berpakaian yang berbeda, sehingga menarik perhatian sekumpulan anak muda Korea yang belum terbiasa melihat model penampilan seperti itu. Anak-anak muda itu terlongong-longong. Mungkin, baru sekarang melewati daerah ini.

Boram tersenyum melihat tingkah mereka.

“Alhamdulillah! Nuna-ku sekarang adalah seorang muslim!” Seru Yeonghun lega. Beberapa pengunjung restoran menoleh mendengar suaranya yang keras.

“Artinya, kamu harus sering di rumah untuk mengajariku! Mengerti?” Tukas Boram.

“Seharusnya, suamimu yang mengajari. Bukan aku!” Balas Yeonghun.

Mweo?” Kalimat Yeonghun barusan terdengar seperti ejekan bagi dirinya yang sering gagal menjalin hubungan cinta dengan lelaki.

Ingin rasanya Boram menjitak kepala adiknya yang sering membantah ini. Tapi, ia segera menahan diri. Segan dengan kehadiran seorang pria di depannya. Pria yang belakangan ini sering bertemu dengannya, semenjak ia berkata pada adiknya; Yeonghun-ah, tolong, jelaskan padaku tentang Tuhan-mu!

Pria itu, bernama Beu-ram, dari Indonesia. Negara yang sangat asing di telinganya. Ditemani Yeonghun, Boram mengajukan berbagai pertanyaan tentang Islam, dan pria itu selalu telaten menjawab panjang lebar. Membuat dirinya benar-benar merasa diterangi oleh cahaya yang tak tampak.

Belum pernah. Belum pernah, ia menemui pria semacam ini. Beuram-ssi sungguh berbeda.

 

Korea Selatan, di restoran yang sama, di meja yang sama, pada detik yang sama.

Jujur. Jujur, jika kulit wajah Bram seputih Yeonghun, ia pasti kelihatan seperti kepiting rebus sekarang. Ia sedang duduk berhadapan dengan perempuan yang disukainya!

Kakak Yeonghun; Kim Boram.

Perempuan ini, walaupun masih muda, tetapi mempunyai kesan berbeda dari perempuan kebanyakan. Perempuan yang sederhana, teguh, dan mempunyai sifat keibuan. Karakter yang mulai luntur pada perempuan jaman sekarang. Apalagi, dibandingkan dengan perempuan-perempuan Korea yang lain, ia benar-benar berbeda. Ada perasaan sayang bila membayangkan perempuan sebaik ini tidak terbimbing kepada Islam. Juga, ada perasaan kuat ingin melindunginya sebagai seorang lelaki.

Kalimat yang pernah diucapkan Bapak terngiang di telinganya. Lelaki itu, kalau masih muda, punya pekerjaan berprospek cerah, biasanya sering larut mengejar karir. Lupa, bahwa masih ada tahap kehidupan lain yang harus ditempuh.

Tanpa sadar, Bram menatap Boram yang sedang berbantahan dengan Yeonghun. Aku tidak akan lupa, Pak. Aku tahu itu.

Kemudian, Bram memejamkan mata hingga keningnya berkerut. Menimbang-nimbang sesuatu. Hari ini adalah hari istimewa. Akhirnya, Boram-ssi mengucapkan dua kalimat syahadat di Masjid Itaewon. Apakah ini pertanda bahwa saatnya telah tiba?

Jemari Bram menggulung, erat menggenggam tekad. “Ehm! Bolehkah saya berbicara?”

Boram dan Yeonghun seketika diam. Langsung menelan argumen terakhir mereka.

“Maaf” Boram menunduk segan.

“Silakan.” Yeonghun mempersilakan Bram dengan tangannya.

“Ehm! Bismillahirrahmanirahim…” Bram menatap Boram dan Yeonghun secara bergantian. “Begini… Beberapa hari ini, saya berpikir, kalau Boram-ssi pasti butuh pembimbing untuk menjalani kehidupan baru sebagai seorang muslim. Yeonghun-ssi betul. Sebaiknya, suami Boram-ssi sendiri yang membimbing. Akan lebih mudah meresap dalam hati.”

Boram dan Yeonghun saling melirik. Tidak memahami arah pembicaraan ini.

Bram diam sebentar. Mengumpulkan segenap keberaniannya. Menguasai dirinya. Karena, jantungnya benar-benar berdegup tak karuan.

“Begini saja. Bagaimana kalau Boram-ssi menikah dengan saya? Jadi saya yang akan membimbing Boram-ssi sebagai… suami.”

Tik. Tik. Tik.Tik.

Suasana seakan menghening, sampai suara detik jam restoran pun terdengar di telinga Bram. Waktu seolah merayap. Bukan berjalan.

Bram tegang.

“Ehm! Beuram-ssi sedang melamar Boram-Nuna atau melamar saya?” Celetuk Yeonghun.

Bram berkedip. Ya Allah! Rupanya, tanpa sadar, posisi terakhir wajahnya adalah menghadap kepada Yeonghun!

“Ah, maaf! Benar-benar maaf!” Ia segera menunduk sambil memegangi dahinya. Merasa menjadi orang paling bodoh di seluruh dunia.

Nuna, bersedia menikah dengan Beuram-ssi? Awas, kalau tidak mau. Aku tidak akan makan masakanmu lagi…aku tidak akan pulang ke rumah…” Yeonghun menyebutkan ancamannya satu per satu.

Tuk! Boram menjitak kepala adiknya. Lalu, ia menghadapkan badannya kepada Bram, yang merasa berdiri di bibir jurang sekarang.

“Ya, saya bersedia.” Jawab Boram tegas. Tidak dapat menyembunyikan semburat merah di pipinya.

Dua bulan kemudian, Bram menikahi Boram dalam upacara Islam yang sederhana di Masjid Itaewon.

ooOoo

Dua kehidupan yang berbeda telah terhubung oleh benang takdir. Benang mereka adalah satu bagian dari sebuah jaring besar kehidupan. Jauh atau dekat, berbeda atau sama, lelaki atau perempuan, Allah yang menciptakan benang-benang di antara mereka. Di manakah nantinya benangmu akan berakhir?

Telusurilah dengan kesungguhan hati. Tak usah risau. Sebab, DIA selalu menyiapkan yang terbaik di ujung perjalanan. Untuk kita semua.[]

*Spoiler: Kini, benang takdir juga terjalin antara Kim Yeonghun dan Alin. Kisah mereka bisa diikuti secara bersambung dalam That Korean Who Cooked Me Bulgogi Noodle.

Di sinilah kisah mereka bermula, KLIK DI SINI

You may also like...

1 Response

  1. March 10, 2015

    […] ‘side story‘ dari novel That Korean Who Cooked Me Bulgogi Noodle (on going). Silakan klik di sini untuk […]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.