Miracle

By: Faris 

“Untuk sebuah ketertundukkan paling dalam yang pernah kulakukan”

Langit di ujung barat mulai memerah, menampakkan senja yang tak lagi mampu meronta. Pada belahan lain, di atas bumi tempat manusia bertahta, berjuta-juta jiwa menantikan kehadirannya. Menunggu sisa-sisa sore untuk dijadikan background yang diabadikan dalam kepingan CD maupun kamera. Meski senja, bukanlah eksperimen Max Plank yang memanfaatkan laser untuk digunakan dalam eksperimennya, karena koridor lintasannya bisa ditempatkan pada cermin untuk memantulkan bentuk gambar diri sebagai siluet. Hitam.

Seperti yang lainnya, sore itu begitu saja kutembus senja melalui partikel-partikel padat yang membentang bening dari jendela kamar. Kusadari aku tak akan mampu mengekspresikan kegundahan jiwa untuk kugoreskan acak di ujung barat sana. Kubiarkan jingga itu meredup. Karena betapapun redup cahayanya, kegundahan hatiku akan menjadi paket-paket kwanta atau foton yang setiap saat bisa terlontar.

Tidaklah salah jika aku tak juga mampu mengubah warna dalam perjalanan alam semesta. Meskipun aku ada di sana bersama milyaran yang lain, panta rhei kai udan menei[1], tumbuh, lahir dan mati menyatu bagai sebuah garis vertikal yang siap kuterjang. Dan ketika sebuah kekuatan cahaya mengalirkan kehangatan yang luar biasa dasyatnya. Ada butiran-butiran mengkristal yang mulai merambat. Meluruhkan segenap energi yang bertahun-tahun kukumpulkan.

“Bimo” desisku lirih. Kugenggam jam kompas yang ada di tanganku. Akan selalu kuingat hampir semua perlengkapan camping yang setia menemaniku dalam beberapa ekspedisi hadiah dari Bimo. Seorang kakak yang terpisah dari garis keluarga karena mempertahankan idealismenya. Idealisme yang seringkali berbenturan dengan keinginan orang tua. Beberapa tahun terakhir ini bahkan dia sudah jarang sekali mengurusi S2-nya.

Sebagai seorang profesor papa menginginkannya sebagai patner dalam semua penelitiannya. Namun, dia lebih mementingkan hunting untuk mengikuti berbagai kompetisi Foto Slide International yang menghantarkannya beberapa kali meraih penghargaan dari Federation Internationale de I’Art Photographiaque (FIAP)[2].

Papa masih bisa mentolelir aktivitasnya itu dengan banyak catatan. Namun beberapa bulan terakhir, sejak dia mengabadikan kepingan Barrier Reaf[3] bertuliskan lafadz Allah yang ada di pantai di kepulauan New Caledonia, di sebelah Timur Papua itulah yang mengawali kecintaannya berburu miracle lain yang serupa. Aku seringkali memergoki dia yang sedang serius mengamati deretan huruf yang membentuk kata ALLAH yang berjajar dengan sangat jelasnya di salah satu jenis karang itu.

“Jika yang lainnya layak untuk disertakan dalam berbagai kompetisi di pentas dunia, mendapat penghargaan dari FIAP, PSA, ELDAF bahkan PSS[4], namun mengapa dia justru disingkirkan bahkan dijadikan bahan rebutan dinas inteljen negara-negara besar untuk kemudian dimusnahkan?” tanyanya suatu saat.

Ada yang kutangkap di sana, dan aku berkesimpulan bahwa perlakuan istimewanya pada benda itu bukan hanya sekadar untuk memenuhi kategori Open Section atau Nature Section untuk mengejar prestisius dalam hobby-nya. Ada yang mulai mempengaruhi objektivitasnya.

Dugaanku tidak meleset, tak lama berselang ia mengambil cuti kuliah demi mengejar yang lain. Perjalanannya ke negeri-negeri penuh konflik di Timur Tengah mengubah cara hidupnya. Dia bukan lagi Bimo yang dikenal banyak orang dingin dan angkuh. Kini hampir di setiap menit yang menemani perjalanannya dia habiskan untuk diskusi. Dengan siapa saja termasuk dengan papa. Puncaknya idealisme yang belum lama disandangnya itu membuat papa begitu marah, ternyata perjalanan itulah yang menjadikannya sebagai seorang militan. Papa tidak bisa menerima keputusannya dalam hal ini.

Seingatku pertengkaran itu telah menjadi pemutus ikatan kami. Bimo pergi entah ke mana. Kabar terakhir dari e-mail-nya kulihat dia memamerkan “The-Rukuk”[5]. Salah satu dari ribuan koleksi yang selalu dipamerkannya padaku setiap kali dia pulang dari perjalanannya. Sebuah kebanggaan yang dikejarnya hingga tak pedulikan aku yang harus selalu menyeka airmata tiap kali merindukan kepulangannya? Sebuah kerinduan yang sangat beralasan bagi seorang adik semata wayang kepada kakaknya. Namun harapan itu begitu tipis menjelma di antara bilangan hari, tak mungkin Kak Bimo memutuskan kembali ke rumah setelah Papa mengusirnya.

Entah di mana dia sekarang berada. Aku selalu gagal menghubunginya karena nomor yang dipakainya selalu berbeda-beda. Dulu dialah yang memperkenalkan aku dengan dunia keras yang kini telah menyatu dengan kesendirianku. Dunia yang dikenalkannya begitu nyata melalui aksesoris-aksesoris hiking dan camping. Tidak sesederhana paradigma manusia, yang menganggap hidup hanyalah kepingan kuota yang harus dipenuhi dengan materi.

Sebuah hobby bagi Bimo telah menjadi idealisme yang menenggelamkannya dalam ruang dan waktu. Ia menjadi budak. Mengabdikan hidup sepenuhnya untuk sesuatu yang akupun sulit mengerti. Melalui website yang dibuat bersama beberapa temannya, aku menyimpulkan aktivitas Bimo tidak hanya sekadar iseng. Melalui situs itu aku tahu ia telah bergabung dengan sebuah perkumpulan para pemburu miracle di seluruh dunia. Aku pun harus mencerna berulangkali kiriman e-mailnya.

“Ia ada Faa, meskipun kita tidak pernah diperkenalkan oleh kedua orangtua kita. Namun kita pasti mampu menjangkau keberadaannya. Tidakkah kita rasakan ketertundukkan detak jantung, perputaran rotasi bumi pada porosnya, ketidakberdayaan ultraviolet yang tertahan oleh ozon yang tak mampu menembus dan membakar bumi yang telah sedemikian bejatnya. Semua menjadi petunjuk keberadaannya. Bukan suatu kebetulan, karena ini akan menampar keberadaan kita dalam ketidakberdayaan, kita yang lemah betapa kuasanya Ia yang mampu memerintahkan milyaran bintang agar tak saling berbenturan”

Pada e-mail lain dia menuliskan:

“Dia tidak hanya sekadar menciptakan kita tetapi juga mengatur gerak kita. Sekecil apapun itu. Hanya Dialah yang berhak menentukan aturannya. Aturan yang membebaskan kita dari simpul buatan manusia. Bukan sebuah candu seperti yang selama ini kita telan.”

“Adalah suatu kemuliaan bukan sebuah keterkungkungan seperti yang kita simpulkan jika mereka tak ingin melepaskan kain yang menutupi mahkota dan lekukkan tubuhnya. Karena mereka bukan objek yang harus puas dinikmati setiap waktu oleh mata jalang manusia. Milyaran mil telah kutempuh namun mataku tidak bisa terus tertutup rapat tentang hidup yang sesungguhnya, sampaikan maafku pada Papa dan Mama.”

Entahlah sejak kapan Bimo sebijak itu, kiriman-kiriman e-mail-nya semakin membuatku muak. Seolah-olah apa yang dikirimkannya memaksaku untuk terikat dalam kungkungan feodal budaya negeri-negeri yang akhir-akhir ini sering dikunjunginya. Jilbab, kerudung dan deretan aksesoris lain yang membuat perutku mual. Aku tak menangkap bayangan kakakku dulu. Dan kini tanpa menampakkan batang hidungnya dia memaksaku untuk mengikuti kemauannya.

Lambat laun akupun berpendapat sama dengan Papa. Menyingkirkan kerinduanku dengan kesibukkan sekolah dan aktivitas lain yang kuikuti. Karena mengharapkan Bimo sama dengan menciptakan ruang hampa pada detik-detik yang kulalui. Akhirnya waktu yang tak bisa lagi dibendung lajunya menipiskan harapanku untuk bertemu lagi dengan Bimo.

E-mail yang rutin dikirimkannya seminggu sekali jarang sekali kubuka. Malas dengan semua ocehannya. Pun Papa dan Mama yang semakin sibuk dengan eksperimen dan segudang penelitiannya tak pernah lagi mengungkit ketidakkeberadaan Bimo. Papa sudah cukup kecewa dengan keputusannya.

ooOoo

“Adikku sayang, mungkin perjumpaanku dengan sesuatu yang selama ini kurindukan sudah teramat dekat. Perjalanan yang panjang itu telah membuatku harus memilih, sesuatu telah menyinggahi kegersangan diri ini. Hingga aku menemukanNya. Aku memilihnya sebagai tempat akhir untuk bersandar. Karena sesungguhnya tidak ada yang membuat diri ini lebih mulia dalam hidup ini, kecuali perjuangan di bawah panji ar-Rayah. Jalan ini yang telah membuat kita mulia dan memiliki derajat yang tinggi. Semoga engkau masih menyisakan secuil tempat di hatimu untukku. Seperti janjiku dulu pada Papa dan Mama, insya Allah ini bulan terakhir aku menyelesaikan studi. Bulan depan aku menjadi mujahid yang membuatku merindukannya; Yahya Ayasy. Sembah sujud untuk papa dan mama.”

“What?” mulutku membulat demi membaca deretan e-mail yang baru kubuka dari Bimo.

“Jadi selama ini?”

“Papaaaaa…. Mamaaa…”

Aku terduduk lagi dengan lemas menyadari kedua orangtuaku tak akan mendengar teriakkanku. Rumah ini sunyi sesunyi hari-hari yang kulalui pada setiap detiknya. Sekelebat bayangan Bimo muncul, menyapaku yang sedang terduduk lunglai. Monitor di depanku masih berkedip-kedip ketika tiba-tiba kerinduan menyeruak memenuhi rongga dadaku, air mata meleleh di sana.

Sepotong nurani tertinggal di tengah belantara kehidupan tiap kali aku mengikuti ekspedisi. Ingin rasanya aku mengembalikannya. Ah, alangkah besar harapan itu sedangkan papa pasti tak akan mau lagi menerima kehadirannya kembali. Sesaat sebuah kekuatan menarik lagi kerinduanku pada Bimo. Sudah sebesar apakah gundukkan-gundukkan idealisme yang terkumpul dalam diri Kak Bimo sehingga meruntuhkan kekuatan cinta yang terhimpun sejak kami masih balita hingga usia hampir ditelan nyawa. Ajaib segalanya begitu cepat merubah. Kekuatan itu telah membawanya terbang mengangkasa, melintasi jagad raya yang tak tahu di mana letak tepiannya. Aku hanya tertunduk mencengkeram laju akalku dan tak mampu menghentikannya.

“Jika ini menjadi akhir dari pertemuan kita, maafkan kakakmu. Kesempatan emas yang kutunggu-tunggu sebagai penutup dari perjalanan hidup tak mampu lagi kusia-siakan. Kita pasti akan berjumpa di lain waktu, dengan kondisi yang berbeda. Sampaikan maafku pada Papa dan Mama. Maaf. aku hanya bisa mengirimkan apa yang dulu menjadi keinginan Papa. Selembar ijazah.”

“Bim,” mataku telah lembab untuk menangisi kepergianmu. Selamat jalan, jika ini menjadi pilihanmu. Dan bencana yang terjadi sebagai penutup akhir tahun 2004 di Nangroe Aceh Darusssalam dan Sumut itu tak mampu membuatku melawan keberadaanNya. Milyaran manusia ternganga ketika masjid-masjid di sana tetap kokoh berdiri sementara yang lainnya hancur lebur. Aku hanyalah manusia hina jika tidak segera menyusulmu.

oooOoo

Dari bivak kecil, kuamati beberapa ikhwan sibuk mempersiapkan acara nanti malam. Beberapa potong kayu dan ranting-ranting pinus basah yang kami kumpulkan siang tadi akan menjadi bagian dari rangkaian tadabbur alam di Kawasan Wisata Puncak Gunung KElud. Harum bau jagung bakar yang dipanggang pada perapian kecil di tengah area perkemahan putri tak juga membuatku tertarik untuk bergabung dengan mereka.

Beberapa yang lain sedang menepi menikmati hangatnya uap sulfur yang menyembul dari celah-celah cadas. Bahkan ada yang nekat turun ke bawah untuk menikmati hangatnya kawah. Aku ingin menikmati saat-saat seperti ini seorang diri. Tak ada yang pernah tahu, ada pedih yang kusimpan pada setiap event di alam bebas. Kudapati sisa-sisa masa lalu dalam bingkai mungilku. Malam yang kian temaram tak juga bisa membuatku memejamkan mata, lalu kuambil feples[6]dan melepaskan panci mungil yang menempel di bawahnya nya, lalu kutuangkan sisa air yang kuambil siang tadi. Kubakar parapin[7] untuk mendidihkan air sekaligus merebus mie instan.

Kunikmati sendiri sembari mengikuti petikan gitar melankolis disertai alunan sumbang dari sekelompok remaja yang berada di dekat lokasi kami. Mereka mengingatkanku pada Bimo beberapa tahun lalu. Harusnya ia ada di sini saat ini. Melihatku ada dalam komunitas yang diinginkannya sebelum syahid.

Tunggu aku untuk menyusulmu wahai saudaraku tercinta. Lihatlah kini aku ada di tengah-tengah yang lainnya. Bahu-membahu merapatkan barisan untuk memperkokoh perjuangan ini. Aku pun menyaksikan segalanya telah merata terjadi di seluruh dunia. Ada luka yang kepedihannya tak bisa kita ungkapkan hanya sekadar dengan retorika.

Seperti katamu, luka untuk memperjuangkan tegakknya Islam tak akan terasa sakit karena akan tertutupi oleh sebuah kenikmatan yang akan kita terima sebagai hadiah tak terukur dari Allah. Lihatlah, sejak kepergianmu aku telah mengawali segalanya dengan sebuah gerbang megah.

Syahadat.. yang telah menghantarkan kita menjadi seorang uslim. Mengakui Allah sebagai al-Khaliq sekaligus al-Mudabbir (pengatur) hidup kita. Hingga telah sepantasnya kita menyandarkan seluruh aktivitas kita pada aturanNya. Bagaimana pun kita adalah satu-satunya makhluk yang diberi akal bukan sekadar otak. Kusadari betapa sia-sianya hidup ini jika hanya berkutat dengan kesibukkan diri, tanpa berperan mencari solusi untuk menuju perubahan.

Dan kutemukan jalan ini, berada di dalamnya untuk membongkar ide-ide yang telah meracuni generasi ini sebelumnya. Karena Islam tidak akan nampak dan mampu menggoncangkan dunia tanpa adanya keterlibatan kita untuk mendakwahkan konsep-konsep kaaffah-nya ke tengah-tengah umat. Sungguh suatu pelecehan jika dikatakan ATURAN ISLAM HANYA SEPUTAR IBADAH RITUAL.

Islam sempurna mengatur seluruh aspek kehidupan. Lihatlah, kini aku pun merindukan seperti yang engkau rindukan. Sebuah kerinduan akan adanya kepemimpinan Islam. Satu Khalifah untuk seluruh dunia, di bawah kibaran ar-Royah dan al-Liwaa yang akan menghancurkan imperalisme yang telah menjajah kemuliaan umat Islam.

Ya kurasakan kini bahwa kita semua adalah orang-orang yang beriman sepenuhnya kepada Allah dan tidak akan menyekutukanNya dengan sebuah ketertundukkan pada hegemoni kufur. Tidak. Kita tidak akan tunduk pada perintah-perintah yang dibungkus rapi dalam ide-ide batil mereka. Kita adalah generasi di abad ini, pewaris sistem agung yang dituntun wahyu oleh Allah. Oleh karena itu tidak ada yang layak untuk diterapkan kecuali Islam.

Beberapa butir air mata kubiarkan berjatuhan dari sudut mataku, mengalir entah untuk yang keberapa kali.[]

Surabaya, Maret 2003

Catatan:

[1] panta rhei kai udan menei (semuanya akan mengalir dan tidak ada sesuatupun yang tinggal mantap) filosofi

Heraklitos

[2] FIAP (Federation Internationale de I’Art Photographiaque), sebuah wadah perkumpulan klub-klub

foto dunia yang ada di Luxembourg.

[3] Barrier Reaf (salah satu jenis batu karang)

[4] PSA (Photographic Society of America ) ELDAF (Ehrenloge der Deutschen Amateur Fotografen)

PSS (Photographic Society of Singapore)

[5] The-Rukuk”sebuah foto pohon yang sedang rukuk disebuah hutan yang ada dikawasan Sidney

(www.islamcan.com)

[6] tempat minum

[7] sejenis bahan bakar

 

Sumber: Majalah SOBAT Muda, Edisi 10/Juli 2005

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.