Nyanyian Ilalang

By: Lely Noormindhawati

 

Cuaca di rumahku makin mendung saja. Kondisi ini sudah bermula hampir satu bulan yang lalu, saat ketegangan antara bapak dan ibuku kian tak terkendali. Kehadiran orang ketiga di tengah keluargaku adalah pemicu percekcokan keduanya. Dan bisa ditebak sobat, ibuku terbakar api cemburu yang luar biasa!

Entah kenapa bapak yang dinilai ‘alim’ di mata keluarga besarku tiba-tiba selingkuh dengan ‘wanita jalanan’. Sungguh serasa sebuah pukulan keras dengan telak telah merontokkan seluruh persendian ini! Wajar pula ibu yang semula kalem, pengertian dan lemah lembut itu dalam sekejap berubah seratus delapan puluh derajat. Tempramennya jadi uring-uringan.

“Bapak sih bikin masalah!”. Anehnya kalimat ini nggak bisa ke luar dari mulutku saat aku berhadapan dengan bapak. Aku—si bungsu ini—adalah sosok paling lemah dibandingkan dengan kakak laki-lakiku ataupun ibu. Ketika seluruh keluargaku menuding bapak sebagai ‘trouble maker’ justru aku memilih diam. Hati nuraniku sebenarnya nggak mampu berbohong. Aku kecewa dengan kelakuan bapak yang telah menorehkan aib di keluargaku. Hatiku menjerit pilu. Ingin rasanya berteriak, mengumpat dan mencaci. Tapi untuk apa? Semua telah terlanjur terjadi. Ibarat nasi yang telah menjadi bubur. Menyesal pun tiada guna.

“Vi, Bapak ke mana?” Tiba-tiba muncul Ardi, kakakku dari pintu depan. Tatapan matanya mengisyaratkan duka dan sekaligus dendam yang membara. Dendam untuk siapa? Jelas ini adalah gejolak amarah yang tak terlukiskan untuk bapak. Aku hanya menggelengkan kepala. Seharian ini sama sekali aku tak melihat bapak muncul di rumah.

Di usianya yang sudah melewati masa remaja (24 tahun), kakak adalah sosok pemimpin di keluargaku. Terlebih setelah musibah ini terjadi, tampuk pimpinan keluarga berpindah 100% ke pundaknya. Bapak sudah kehilangan hak suaranya di rumah. Tak sedikit pun kepercayaan kami tersisa untuknya.

 

ooOoo

Senja mulai turun. Matahari perlahan beranjak ke peraduannya. Kusandarkan tubuh ini di atas ranjang kamarku. Lelah sekali rasanya setelah seharian ikut bakti kampus hari pertama—semacam pengkaderan untuk mahasiswa baru. Tak ada yang menyenangkan hari ini. Justru yang kutemui hanyalah wajah-wajah arogan dari kakak senior diselingi ancaman dan teriakan keras untuk menguji nyali para mahasiswa baru. Aku tak ambil pusing. Kuabaikan saja perintah-perintah itu bak angin lalu. Akibatnya, beberapa hukuman harus kutanggung. Bahkan aku dikelompokkan dalam kumpulan anak-anak ‘pembangkang’. Siapa peduli!

Usai sholat maghrib aku masih saja di kamar. Tak kuhiraukan suara ibu yang memanggil dari ruang makan.

“Duluan aja, Bu. Vivi masih kenyang,” sengaja aku nggak ikut makan malam bersama ibu dan kakakku.

Segera aku menuju rak di sudut kamar. Di situlah aku menyimpan berbagai koleksi kaset, CD maupun VCD musik. Kuambil satu keping kaset. Albumnya Jewel. Sesaat kemudian lantunan bait-bait lagu “Foolish Game” mulai mengalun. Kulepaskan gundah dan beban hidup ini dengan melepaskan suara emasku. Ya..inilah ekspresi dari mantan vokalis band SMU! Sekalipun sudah nggak pernah naik panggung lagi, latihan vokal masih rajin kulakukan. Kebetulan di rumah ada keyboard, jadi mau solo konser kapan pun it’s OK …

Satu lagu belum kelar, mendadak HPku berbunyi. Ring tonesWhere is the love” menggetarkan keheningan di ruang kamarku.

“Ada apa, Do?” Dodo, drummer band SMU-ku, menyapa di seberang sana.

“Wah, sibuk ya dengan predikat baru jadi MaBa?” Terdengar suaranya meledek.

“Nggak juga. Kamu sendiri sekarang sibuk apa?” Aku mencoba mengalihkan pembicaraan.

“Jelasnya aku tetep menekuni profesi kita yang dulu. Enjoy with music because music is everything..,” ungkap Dodo dengan mantap.

“Kamu nggak pengin gabung lagi? Sayang nih, kita masih butuh vokalis cewek lho! Lagian kuliah sambil nge-band kan ok juga,” bujuk Dodo menyakinkan.

Aku tercenung sesaat. Perasaan bimbang menggelayuti diriku. Bagaimana pun juga musik pernah menjadi bagian penting dalam hidupku. Tak akan mudah untuk mengucapkan selamat tinggal. Sekalipun kini kuputuskan untuk komitmen kuliah nyatanya music is still part of my life!

“Ok, deh! Hitung-hitung bisa ngilangin stres, nih! Daripada di rumah bete terus dengerin ortu bertengkar, lets free our soul with music!” Tanpa membuang banyak waktu, aku mengiyakan tawaran Dodo.

“Gitu dong!”

ooOoo

Suasana rumah yang tak lepas dari nuansa pertengkaran kedua orang tuaku semakin menambah semangatku untuk rajin pulang telat. Aku nggak peduli lagi dengan perasaan kakak ataupun ibuku akan hal ini. Apa lagi bapak yang sudah menemukan dunianya sendiri! Memangnya dia saja yang bisa begitu…

Hari-hari pun berlalu di awal masa kuliahku. Separuh lebih waktuku kuhabiskan untuk latihan musik bersama dengan teman-teman. Dan ternyata kesibukanku bermain musik telah banyak membantu melepaskan segala beban yang menyesakkan dada ini. Kebosanan dan kebenciaan yang acap kali muncul begitu kakiku menginjak halaman rumah, telah ternetralisir dengan kegembiraanku nge-band bareng teman-teman. Apa lagi minggu depan akan digelar event yang cukup bergengsi, Festival Band Remaja. Ini adalah ajang seru mencari bibit-bibit baru dari band-band lokal. Siapa sih yang nggak pengen setenar GIGI, Dewa, ato Peterpan?

“Kita harus memperbanyak frekuensi latihan, nih! Festival Band tinggal seminggu lagi, lho!” Dodo antusias sekali memberi spirit kami agar terus berlatih. Sejak SMU ia memang sudah jadi pucuk pimpinan band.

Hingga saat itu tiba……..

Sorak sorai kemenangan menggetarkan area Festival Band. Kerja keras kami membuahkan hasil. Lagu “Love of a life time” milik Fire House yang kami lantunkan telah mengantarkan kami meraih predikat Band Favorit. Perjuangan Dodo (drummer), Andika (basis), Ersa (keyboard), Dino (lead guitar) dan aku sendiri sebagai vokalis, tidak lah sia-sia!

We are the champion my friend…”

Sepontan lagu We are The Champion-nya Queen kami lantunkan. Senyum kemenangan tersungging di bibir kami.

ooOoo

Seminggu setelah festival….

Hari ini aku pulang lebih awal. Menyenangkan sekali tentunya karena dosen absen. Waktu yang luang ini bukannya kugunakan untuk cari referensi di perpustakaan atau menyiapkan materi ujian semester, justru ini kesempatan emas untuk latihan lagi!

Aku segera bergegas meninggalkan ruang kuliah. Tak kuhiraukan teman-teman yang bergerombol di taman kampus. Mereka tampak serius menyiapkan soal-soal latihan ujian semester. Rutinitas yang menjemukan pikirku. Dan sorry saja, aku paling anti bila harus terbelenggu dengan diktat-diktat klasik itu! Sekumpulan teori tanpa makna…

Tidak seperti biasanya, entah kenapa aku memutar langkahku dan memilih jalan ke rumah Dodo yang melalui depan masjid kampus. Kusempatkan menatap bangunan megah itu. Teras masjid tampak ramai dengan maba yang lagi khusyu’ mengikuti kajian keislaman.

“Assalamualaikum..”

Tiba-tiba terdengar suara yang cukup mengagetkanku. Seorang cewek berjilbab biru muncul di belakangku.

“Waalaikum salam..,” jawabku dengan terbata-bata.

“Nggak ikut kajian, Dik? Sayang lho..hari masih panjang, masih ada waktu untuk kita mendekatkan diri kepadaNya”.

Kata-katanya yang lembut dan penuh makna sempat menyentuh dasar hatiku.

“Eee..lain kali aja, Mbak. Saya masih ada keperluan.”

Aku mencoba menghindar. Sejak kapan aku berpindah habitat ke komunitas jilbaber. Yang bener saja, itu nggak mungkin lah yaw!

Mbak tadi rupanya nggak patah semangat.

“Ya..semoga kita masih bisa menyisakan sedikit waktu kita untuk menghadapkan diri pada pencipta alam raya ini. Lain kali ditunggu kedatangannya lho, Dik!”

Aku terdiam. Kubiarkan mbak tadi berlalu dari hadapanku. Sesaat kemudian aku lanjutkan langkahku. Sepanjang perjalanan aku mencoba mencerna ucapan makhluk berjilbab itu.

Hari memang masih panjang selama napas kehidupan ini ada. Sepanjang apakah? Seluruh teori hipotesa yang pernah kupelajari di kuliah kucoba kugunakan untuk menjawabnya. Tetap saja tak ada jawaban dan aku memang tak bisa menjawabnya. Aku mendesah, apa sebenarnya yang saat ini kucari. Pelariankah? Mungkin benar. Aku mencoba lari dari kenyataan hidup. Berusaha menghindar dari realitas yang ada.

Ah… aku mendesah berat. Aku harus jujur pada diriku sendiri. Ketenangan yang kubangun dengan bermain musik bareng teman-teman ternyata nggak selamanya mampu memberikan ketenangan yang selama ini kucari. Ke manakah aku harus mencarinya? Belum ada jawaban…

ooOoo

Keesokkan harinya kuberanikan diri melintasi jalan depan masjid kampus lagi. Masih seperti kemarin. Teras masjid tetap dipenuhi maba yang lagi asyik mendengarkan kajian Islam. Kutangkap sinar ketenangan itu terpancar dari sana. Haruskah aku mendekatinya? Aku menatap dalam-dalam diri ini. Seolah kutemukan makhluk asing dalam diriku sendiri. Mendadak satu kekuatan yang tak mampu kulawan telah mendorong langkah kakiku mendekati teras masjid. Ada makhluk asing mendekat. Mungkin itu yang terlintas di benak para jilbaber.

“Assalamualaikum..”

Suara yang masih kukenal itu muncul lagi.

“Waalaikum salam..”

“Alhamdulillah, akhirnya Adik mau datang juga. Bisa kenalan?” Sapanya dengan ramah sebagaimana kemarin.

Kuulurkan tanganku.

“Vivi.” Kuperkenalkan namaku.

“Nida.”

Tanpa membuang waktu terlalu lama, aku segera dipersilahkan untuk mengambil tempat dan bergabung dengan para jilbaber. Risih juga rasanya. Satu jam berlalu serasa satu tahun lamanya. Benarkah ini yang kucari? Aku masih ragu.

“Janganlah Anda bersedih, karena hakikat umur Anda adalah ketika Anda merasakan kebahagiaan dan ketentraman hati. Janganlah mengisi waktu Anda sedikit pun dengan kesedihan dan jangan biarkan malam Anda berlalu dalam kecemasan. Jangan Anda tukar kebahagiaan Anda dengan ketakutan dan jangan sia-siakan waktu Anda yang masih tersisa, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang menyia-nyiakan waktu.”

Jantungku mendadak tersentak. Seluruh aliran darahku sesaat berhenti. Gunung es yang kokoh di dasar hatiku seolah-olah mulai mencair. Kalimat tadi mampu meruntuhkan benteng hidupku! Ya, Allah aku selama ini memang sering mengabaikanMu. Separuh waktuku justru kuhabiskan hanya untuk kesenangan sesaat. Selama ini aku hanya mencari ketenangan semu belaka. Aku lari dari tuntunan-Mu!

ooOoo

Aku mulai menapaki lembaran baru dalam hidupku. Kutinggalkan dunia musik yang selama ini kutekuni. Banyak perubahan besar dalam diriku. Termasuk pakaian. Aku kini tidak risih lagi mengenakan kerudung dan berjilbab. Kucoba tegak menatap masa depan. Kuayunkah langkah pasti untuk menghadapi seluruh persoalan hidupku. Aku kembali ke rumah. Di jalan-Nya kini aku bangkit. Dan bersama-Nya akan selalu kudendangkan musik merdu. Mengiringi angin yang meniup pucuk-pucuk ilalang di senja hari. Ilalang akan terus tersenyum dan bernyanyi…

“I finally found the love of a life time…

A life to last my whole life through…”

 

–end–

Bangil, 16 Feb. 05 ; 04:35 pm

Tribute to Dr. Aidh Al-Qarni (Laa Tahzan)

 

Sumber: Majalah SOBAT Muda, Edisi 07/April 2005

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.