Rumah Singgah

By: O. Solihin

 

Sejak Ogi berkenalan dengan seorang anak jalanan bernama Ujang, Ogi jadi rajin datengin ke tempat mangkalnya Ujang di sebuah lampu merah. Ujang adalah seorang anak berumur 12 tahun. Cukup cerdas dan pandai bernyanyi dan bermain musik. Ia mengamen di bis, kadang di angkot, nggak jarang juga di sekitar lampu merah.

Ogi masih ingat awal pertemuan dengan Ujang. Pertemuan yang membawanya menjalin persahabatan dengan anak ceking itu. Waktu itu Ogi amat terkesan dengan lagu yang dilantunkan Ujang suatu sore sepulang sekolah di sebuah bis kota. Meski masih anak-anak, tapi syair lagu yang dibawakannya cukup dewasa dan menggelitik[1]:


Suara letusan samar-samar terdengar
Di tengah malam yang pekat
Sesosok tubuh penuh tato
Terbujur kaku di lorong gelapnya kota
Reff: Sejenak jiwanya berteriak
Untuk ungkapkan rasa yang terasa
Dia coba bicara kenyataan

Banyak yang melihat
Tak ada saksi mata…
Garis kuning di lengan baju pun puas
Nyanyikan lagu kekuasaan
dengan bangga dia melangkah pergi
sambil berharap pangkatnya naik lagi
Reff: Sejenak jiwanya berteriak
Untuk ungkapkan rasa yang terasa
Dia coba bicara keadilan
Dengan pucuk pistol …
Menempel di keningnya.

 

Setelah selesai nyanyi, Ujang menyodorkan plastik bekas bungkus permen untuk meminta uang dari penumpang bis. Saking terkesannya, Ogi nggak hanya ngasih uang, tapi terus ikutan turun bareng Ujang di sebuah lampu merah. Mungkin tempat ngetem Ujang dan kawan-kawannya.

“Dek, tunggu bentar!” seru Ogi sambil nepuk pundak Ujang.

“Ada apa Kak? Mau ngasih uang lagi?” Ujang tampak sumringah.

“Nggak, cuma mo kenalan sama kamu. Boleh kan?” Ogi berusaha untuk tersenyum.

“Ah, kirain mau ngasih uang lagi. Hehehe…” Ujang cengengesan.

“Kamu mau permen? Nih!” Ogi menyodorkan sebiji permen.

“Hehehe makasih Kak” Ujang langsung menyambar permen yang diberikan Ogi. Segera membuka bungkusnya dan langsung menghisap isinya.

“Ngomong-ngomong, masa’ sih Kakak mau kenalan sama saya yang anak jalanan? Nanti apa kata orang-orang. Jangan, ah!” Ujang berusaha untuk menghindar sambil mulutnya tetap mengemut permen.

“Lho, siapa yang ngelarang bergaul dengan kamu?” Ogi penasaran.

“Jarang lho Kak, ada orang yang mau kenalan dengan kami-kami yang hidup di jalanan,” Ujang tampak menutup diri. Kali ini ia duduk di pinggiran sebuah pot bunga besar di trotoar dekat telepon umum. Obrolan di antara mereka ditemani deru kendaraan yang tanpa ragu mengeluarkan asapnya yang bikin pengap dan sesak.

“Kenalkan, nama saya Ogi,” Ogi mengulurkan tangan kanannya untuk salaman dengan Ujang. Ujang menyambutnya dengan ragu-ragu, tapi kemudian memperkenalkan namanya. Keduanya berjabat tangan dengan erat dan disambut tawa keduanya.

“Eh, kenapa kamu ketawa?” Ogi sambil senyum menatap wajah Ujang.

“Geli aja. Kok ada yang mau kenalan sama saya,” senyum tipisnya menampakkan niat bersahabat.

“Nah, Kak Ogi sendiri kenapa ketawa?” Ujang balik tanya.

“Hehehe… sama Jang. Saya juga geli. Kenapa bisa-bisanya kenalan sama kamu,” Ogi menepuk bahu Ujang sambil tersenyum hangat.

“Kak Ogi keren!”

“Kamu juga hebat Jang!”

Keduanya saling berpandangan lagi dan… kembali tertawa yang suaranya kalah bersaing dengan deru kendaraan bermotor yang menyesaki jalanan ibukota sore itu.

“Sssttt….” keduanya hampir bersamaan menempelkan telunjuk masing-masing ke bibirnya. Ogi dan Ujang kayaknya menikmati pertemuan itu.

“Eh, ngomong-ngomong, tadi lagunya bagus lho, Jang. Kamu yang bikin?” selidik Ogi.

“Saya dan Rio, sesama anak jalanan Kak. Emang kenapa? Kak Ogi suka juga?” Ujang balik tanya dengan tatapan mata yang polos.

Ogi menganggukkan kepala sambil matanya menatap Ujang. “Kamu masih kecil, Jang. Tapi kamu udah harus berusaha sendiri. Orangtua kamu masih ada?”

Ujang hanya diam. Ia alihkan pandangan matanya pada kepulan asap knalpot dan gedung-gedung tinggi. Dari matanya mulai merembes buliran kecil air. Ujang nggak ngomong sedikit pun. Ia pejamkan matanya sebentar seolah ingin memeras air mata yang tadi sempat bergelayutan di kedua kelopak matanya lalu menatap Ogi. Ogi jadi nggak enak ati.

“Maaf Jang, saya nggak bermaksud mengungkit masa lalu kamu. Tapi saya sekadar ingin tahu siapa kamu. Biar lebih kenal gitu,” jelas Ogi berusaha mentralkan keadaan.

“Ujang malu Kak. Pertanyaan seperti ini sebenarnya yang ingin Ujang hindari. Abisnya males sih tiap orang pasti nanya latar belakang hidup Ujang,” wajah Ujang tampak muram.

Sebelum Ogi ngomong, Ujang udah mau pergi sambil bilang, “Sudahlah, Ujang mau nyari duit lagi. Lumayan nih, banyak orang pulang kerja. Kali aja banyak yang nyumbang buat nyambung hidup.” Ujang berusaha tampak tegar. Seolah tak pernah terjadi apa-apa sebelumnya.

“Eit, tunggu dulu. Saya punya sesuatu buat kamu,” Ogi merogoh saku celananya dan ngasih uang lima ribu rupiah.

“Ini buat kamu. Tapi syaratnya, kita ngobrol dulu. Oke?” Ogi menawarkan opsi. Ujang ngangguk dan berbinar matanya.

“Benar Kak?” Ujang seperti belum yakin dengan kenyataan yang sedang berlangsung di hadapannya.

Ogi mengangguk pelan dengan memberi isyarat lewat kedua matanya sambil tangannya menyodorkan uang kertas bergambar “Tuanku Imam Bondjol” itu.

“Iya deh. Sok atuh mau ngobrol apa sama Ujang,” Ujang kembali duduk di bagian bawah tembok pagar di pinggir trotoar. Dia pikir apa susahnya cuma ngobrol. Udah gitu dapet duit lagi.

“Eh, kenapa sih kamu di hidup jalanan?” tanya Ogi.

“Panjang sejarahnya Kak. Ujang nggak tahu harus dari mana ceritanya,” jawab Ujang sambil menatap mata Ogi dalam-dalam.

“Yang kamu inget aja deh,” usul Ogi.

“Sebenarnya Ujang nggak tahu anak siapa. Abisnya, yang Ujang tahu waktu itu teman-teman Ujang ya hidupnya di sini,” Ujang polos.

“Lho, emangnya kamu nggak pulang ke rumah?” tanya Ogi rada heran.

“Rumah saya beratap langit dan berlantai bumi Kak. Ujang nggak punya rumah seperti temen-temen Ujang yang lain yang beda nasib,” jelas Ujang berpuitis dengan wajah yang tampak berusaha untuk menutupi kesedihannya.

“Selama ini kamu hidup sama siapa?” Ogi penasaran banget.

“Ya sama teman-teman aja di sini. Tidur nggak tentu Kak. Kadang di emperan toko, kadang di gubuk punya teman.”

“Gubuk? Kamu asli nggak punya tempat tinggal yang layak?” Ogi penasaran.

Ujang mengangkat bahunya, “Ya gubuk itu tempat tinggal Ujang,” bibirnya berusaha untuk tersenyum. Meski terlihat getir di mata Ogi.

Ogi diam sejenak. Garuk-garuk kepala tapi sebenarnya nggak gatal. Lalu menepuk bahu Ujang.

“Jang, kalo kamu mau, boleh tinggal di rumah saya. Kebetulan…” Ogi nggak selesai ngomong karena Ujang langsung memberi isyarat untuk tidak meneruskan kalimatnya.

“Nggak mau Kak. Ujang takut menyusahkan orang lain. Selama ini Ujang tak merasa membebani siapa pun dengan kehidupan seperti sekarang. Malah Ujang bisa nyari duit sendiri. Dengan nyanyi, dengan memetik gitar kecil ini sambil menghibur orang-orang..” Ujang panjang lebar. Ogi hanya diam. Nggak bisa memaksa.

“Oke deh, jika itu maumu. Tapi, boleh dong Kak Ogi ketemu kamu di sini lagi?” Ogi menghela nafasnya.

“Boleh aja. Ujang ada kok tiap hari di lampu merah ini. Tapi kalo hujan lebat dan menghindari aparat tibum, Ujang ada di masjid itu,” ujarnya sambil menunjuk sebuah masjid yang lokasinya agak ke dalam dari jalan raya.

Ogi mengangguk dan berjabat tangan. Nggak lupa, Ogi ngasih nomor HP dan nomor telepon rumah. “Kalo kamu ada kesulitan, telepon saya di nomor ini ya!” ucapnya sambil memberikan kartu nama. Ujang menerimanya sambil beranjak pergi dan melambaikan tangan. Ogi membalasnya. Tapi kemudian Ogi mendadak panik.

“Jang… Ujang…” Ogi teriak sambil meletakkan kedua telapak tangannya yang dibuka di dekat mulutnya hingga mirip corong. Tapi sia-sia. Ujang sudah menyeberang dan teriakannya tenggelam oleh suara bising kendaraan. Dan… Ujang sudah gelantungan di bis kota yang membawanya entah ke mana.

“Aduh, kenapa aku nggak ngajak dia sholat. Sebentar lagi kan maghrib” Ogi membatin dan merasa kesal karena lupa ngajak Ujang untuk sholat.

ooOoo

“Mil, aku lagi punya proyek nih,” Ogi menatap Jamil sambil memasukkan bakwan goreng ke mulutnya. Disusul sebiji cabe rawit.

“Sok deh. Pake istilah proyek-proyek segala. Kayak pejabat aja kamu Gi!” Jamil cengengesan sambil nyeruput es jeruk yang tinggal setengah gelas lagi.

“Kamu ini, Mil. Bukannya didukung, malah ngeledekin,” Ogi melempar kertas tisu yang udah berbentuk bola kecil ke wajah Jamil.

“Tenang Bos!” Jamil berkelit menghindari lembaran kertas tisu sambil tetap tersenyum.

“Mil, aku butuh donatur nih untuk bikin rumah singgah,” Ogi membuka obrolan seriusnya.

“Wah, dapet ide dari mana Gi?” Jamil seolah nggak percaya.

“Udah seminggu ini aku kenalan sama seorang pengamen, Mil. Anak terlantar,”

“O, I know. Pasti kamu bikinkan rumah singgah buat mereka-mereka ya?”

Ogi ngangguk. Jamil mencoba menyampaikan pendapatnya bahwa untuk bikin rumah singgah agak repot soal dana. Lagian donaturnya sekarang agak susah menurut Jamil.

“Jadi gimana nih Mil?

“Sebetulnya tujuan kamu bikin rumah singgah buat mereka apa, Gi?

“Biar aku bisa ngajarin mereka ngaji, Mil. Kasihan mereka. Masa depan Islam di tangan mereka. Gimana jadinya kalo anak-anak ini nggak kenal Islam. Jangankan begitu, baca Quran aja belum tentu bisa,” papar Ogi.

Jamil manggut-manggut. Terus bilang, “Kalo sekadar untuk ngajak mereka belajar dan ngaji mah, gimana kalo kita di masjid aja ngumpulin mereka?” Jamil ngasih ide.

“Yes, tumben kamu panjang akal. Mil! Aku setuju!” Ogi sumringah sambil ngelempar senyum genit.

Keduanya saling menatap dan menyodorkan tangan yang dikepal mirip sebuah tinju. Lalu diadu pelan sebagai tanda setuju. Setelah membayar jajanannya di kantin Bang Sanwani, keduanya beranjak menuju kelas.

ooOoo

“Adik-adik semuanya, sebelum memulai belajar, ada tebakan dulu neh. Yang bisa jawab dapet hadiah majalah ini!” seru Jamil yang disambut antusias anak-anak jalanan yang berhasil diajak untuk mengikuti pelajaran malam itu di masjid dekat tempat mangkal Ujang.

Dengen santai Jamil bertanya ke anak-anak: “Kenapa pocong jalannya selalu loncat-loncat?” Anak-anak yang ditanya kebingungan. Sebagian ada juga yang tertawa. Tapi mereka nggak bisa jawab. Lalu Jamil ngasih bocoran, “Pengen tahu? Ya, karena pocong harus rajin olahraga biar tetep kurus. Lucu kan kalo ada pocong gemuk, entar disangka permen, lho” Jamil ngasih penjelasan sekenanya diiringi derai tawa anak-anak.

“Nah, karena nggak ada yang bisa jawab. Majalah ini disimpen dulu aja ya!” tawar Jamil yang disambut teriakan “huuuuuu..” dari anak-anak. Ogi cuma nyengir kuda aja ngeliat Jamil begitu rupa.

Kemudian mereka larut dalam pelajaran tentang etika dan sedikit wawasan keislaman. Satu jam kemudian kegiatan selesai. Sebelum bubaran, Ogi ngasih oleh-oleh buat mereka. Bukan PR, tapi sebuah puisi. “Oke, Kak Ogi minta adik-adik yang bisa baca puisi, silakan baca puisi ini kalo di bis. Jangan nyanyi yang isi lagunya nggak islami ya!”

“Ayo, biar tahu isinya, siapa yang mau baca puisi ini sekarang?” Ogi menyapu pandangannya ke sekeliling masjid.

“Saya Kak!” Ujang mengacungkan jari telunjuknya.

“Oke, yang lain silakan dengerin ya. Ujang mo baca puisi nih!” Ogi menyodorkan selembar kertas berisi puisi.

“Transform[2]. Karya Deon,” teriak Ujang dengan meyakinkan yang disambut tepukan tangan teman-temannya.

Aku masih sanggup letupkan kobaran api yang bersemayam, puncratkan darah pejuang muda. Aku masih sanggup menjaring ratusan kunang-kunang yang tersesat, tuk kuarahkan menuju plang yang di puncaknya mampat seonggok bangkai. Akan kumanunggalingkan diriku menjadi bongkah kilat, bersama mereka, berpadu, menyatu, berjuang tanpa batas meski akhirnya bernanah, koyak, melepuh, berkalang satu persatu di atas gundukan tanah, berlepot darah menggumpalkan merah.”

Gemuruh tepukan mengakhiri pembacaan puisi dari Ujang. Ogi dan Jamil juga ikutan tepuk tangan karena Ujang membawakannya dengan penuh penghayatan.

“Silakan hapalkan puisi itu. Kalian boleh teriak di bis dan di angkot dengan puisi ini. Oke, pelajaran malam ini selesai sampai di sini,” Ogi menutup penjelasannya.

ooOoo

Hampir dua minggu menggunakan masjid, akhirnya Ogi menemukan seorang dermawan yang bersedia rumahnya yang kebetulan kosong untuk dimanfaatkan bagi tempat singgah anak-anak jalanan hasil binaan Ogi dan temen-temen di rohis yang tinggal dekat lingkungan rumah singgah itu. Tapi baru seminggu di rumah singgah itu, sudah banyak perubahan. Setelah kegiatan dipindahkan ke rumah singgah yang cukup layak itu, ternyata anak-anak jalanan itu makin berkurang yang datang. Biasanya sampai ada 20 orang, beberapa hari terakhir menyusut jadi lima orang saja.

Ogi kehilangan informasi tentang Ujang dan kawan-kawannya itu. Bahkan hari ini. Nyaris tak ada yang datang ke rumah singgah itu, kecuali satu orang anak menyampaikan sepucuk surat buat Ogi dan Jamil.

“Dari Ujang Kak,” sodor seorang anak dengan menyandang gitar kecil. Ogi tak sabar ingin membaca surat itu:

“Kak Ogi dan Kak Jamil. Terima kasih udah ngasih ilmu buat Ujang dan kawan-kawan. Tapi maaf, Ujang belum bisa memberikan semangat untuk itu. Entah suatu saat nanti. Ujang masih betah dengan dunia sekarang. Mudah mendapatkan uang dan, bisa makan kenyang. Maaf ya Kak,” Glek Ogi dan Jamil sambil berpandangan. Seolah tak percaya dengan kenyataan yang baru saja dirasakannya. Ogi tampak kecewa.

“Sudahlah Gi, Allah Swt. hanya akan menilai usaha kita. Bukan hasilnya” Jamil menghibur sambil menepuk bahu Ogi. Mereka kemudian berjalan gontai menuju jalan raya. Meninggalkan rumah singgah yang kini kosong tanpa penghuni. Tanpa keceriaan anak-anak. Tanpa semangat dirinya dan Jamil untuk menularkan ilmu. Cinta yang diberikan Ogi dan Jamil kepada anak-anak jalanan ternyata tak berbalas. Hanya sekejap saja kebersamaan itu. Sebentar saja keceriaan itu.

Sayup-sayup terdengar suara pengamen cilik yang tadi membawa surat dari Ujang buat Ogi dan Jamil. Ia menyanyikan lagu Jujur milik Radja dari sebuah halte bis. Saat itu, dalam pikiran Ogi yang kalut, lagu itu seolah tertuju untuk Ujang: “Jujurlah padaku, bila kau tak lagi cinta. Tinggalkanlah aku bila tak mungkin bersama. Jauhi diriku, lupakanlah aku…selamanya”[]

 

Buat teman-temen seperjuangan: Kita tak pernah sendirian dalam perjuangan ini. Allah selalu bersama kita. Tetep semangat!

[1] Dalam tulisan di Jurnal Budaya Kunci: www.kunci.or.id

[2] Dikutip dari NC Zine #3

 

Sumber: Majalah SOBAT Muda, Edisi 07/April 2005

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.