Ujo, Uli dan Motor

By: Fahri Asiza

 

Ujo bangga, karena teman-temannya kembali memuji.

“Motornya baru lagi, Jo?”

“Gila! Berapa banyak lo punya motor?”

“Yang kemarin lo bawa lo kemanain?”

Ujo cuma memamerkan senyumnya saja. Kepuasan bertalu-talu di dadanya melihat pandangan kagum teman-temannya yang mengelilinginya.

“Ya, biasalah. Nggak baru-baru amat. Tapi lumayan, kan?”

“Ini sih lumayan, Jo! Shogun 125 R emang lagi top!”

“Mendingan kalo lo nggak pake, Supra X lo lego ama gue! Tapi murahin dikit!”

Yamaha Ninja-nya biar gue yang beli! Kakak gue udah dua minggu ini lagi nyari!”

Ujo lagi-lagi memamerkan senyumnya. Ujo menekan starter di sebelah kanan tunggangannya, Shogun keluaran terbaru dengan striping baru. “Nggak bakalan gue jual! Gue koleksi!”

“Hebat amat koleksi lo! Motor, man! Babe lo pejabat ya?”

“Pejabat kelas kecil.”

“Ala, ngerendah lo! Kapan-kapan ajak dong kita-kita maen ke rumah lo?”

“Boleh aja, kapan-kapan.” Ujo memakai helmnya yang seharga empat ratus ribu rupiah. “Gue balik dulu!”

“Tunggu, Jo! Seingat gue, sejak lo mulai gonti-ganti motor, lo kayaknya jauhan sama Uli?”

“O iya, Jo, kayaknya dia nggak pernah naik motor lo?”

“Lo-lo orang tunggu aja tanggal mainnya!” sahut Ujo santai. “Balik ya?”

Tanpa menunggu jawaban teman-temannya, Ujo segera melesat meninggalkan tempat parkir sekolah. Dia yakin, teman-temannya itu akan bertambah kagum. Siapa dulu: Ujo!

Soal Uli, bisa diatur kemudian!

ooOoo

 

Uli gadis paling cantik di kelasnya. Hati remaja Ujo pun blingsatan bila Uli melemparkan senyum padanya. Ujo awalnya tidak terlalu berani berharap. Dia hanya berani mencintai si jelita berkacamata itu dalam hati saja. Tetapi ketika dia satu kelompok dengan Uli ketika praktek biologi, Ujo merasa Uli punya perhatian khusus padanya. Apa-apa pasti minta bantuan Ujo. Ujo awalnya bingung, karena harus menerima pandangan sinis cowok-cowok yang naksir Uli. Tapi kemudian cuek bebek aja, toh Uli sendiri yang minta bantuanku. Dan yang paling mengejutkan, ketika Uli minta ditemaninya pulang.

“Tapi, aku tidak bawa kendaraan.”

“Kita kan bisa naik angkot.”

Naik angkot? Jadilah! Meski kemudian Ujo tahu, kalau Uli minta ditemaninya pulang karena menghindari Binsar, anak kelas tiga yang bapaknya penjabat di era Orde Baru. Peduli lah dimanfaatkan atau tidak, yang pasti Ujo semakin merasa dekat dengan Uli. Apalagi sejak minta ditemani pulang, Uli terus saja meminta bantuannya—walau sekadar menemani ke perpustakaan.

Ujo bukannya tidak mendengar kalau banyak yang menggosipkan kalau dia berpacaran dengan Uli. Sudah tentu gosip itu semakin menambah semangat di hati Ujo. Dia berharap, gosip itu terus melambung dan menjadi kenyataan. Meski begitu, ada pula gosip miring tentangnya.

“Aneh juga, masa’ sih Uli yang cantik begitu mau sama Ujo yang kerempeng.”

“Iya, bawa motor aja nggak, apalagi bawa mobil. Kok Uli bisa nyantol ya?”

“Jangan-jangan dia pake pelet.”

Ujo cuma tertawa saja. Ini keberuntunganku, tidak perlu pakai kuda Jepang atau kuda Eropa, tidak perlu juga pakai pelet segala. Kalau Uli jatuh hati padaku, ya itu artinya, di matanya aku lebih dari cowok-cowok yang lain.

Ujo pun merasa perlu mengubah penampilannya. Rambutnya yang tadinya belah pinggir, kini dibentuk model rambut Tintin. Jambul di bagian depan diberi foam biar tetap kaku namun tampak basah. Dia juga mengubah cara jalannya. Dadanya lebih dibusungkan, terutama bila sedang berjalan bersama Uli.

Dan yang terpenting, mereka harus tahu siapa Ujo! Begitu pikir Ujo. Maka mulai sebulan terakhir ini, Ujo pun mulai membawa motor ke rumah. Bolehlah diledek cuma modal motor, tapi hampir dua hari sekali motor yang dibawanya selalu berganti-ganti. Dalam seminggu saja, teman-temannya mulai tahu siapa Ujo yang sebenarnya.

“Rupanya dia pura-pura miskin!”

“Pantas aja Uli mau, dia anak orang kaya ya?”

“Harusnya memang seperti Ujo, nggak perlu nampang. Tapi kalau saatnya diperlukan, boleh juga menunjukkan siapa diri kita.”

“Alaaa, modal lo apaan sih? Cuma model dengkul! Otak juga kosong!”

Ujo hanya tersenyum saja mendengar bisik-bisik itu. Pokoknya, Ujo berbeda dengan yang sebelumnya. Masa’ dapat cewek cantik cuma jalan kaki atau naik angkot?

Tapi yang bikin Ujo diam-diam menyimpan kesal, Uli malah tidak mau diboncenginya pulang.

“Nggak pantas,” kata si Jelita itu.

“Nggak pantas? Kamu maunya aku bawa mobil?”

“Bukan, bukan. Maksudku, kita berdua nggak boleh berboncengan.”

“Kenapa nggak boleh?”

“Nanti tubuh kita mau tidak mau bersentuhan.”

“Jangan sampe bersentuhan kalo begitu.”

“Maaf ya, Ujo, aku naik angkot saja.”

Meski jengkel, Ujo mengiyakan. Tetapi itu terus berlangsung hingga satu minggu. Uli tetap tidak mau diboncenginya meski dia sudah berganti-ganti motor. Payah kalau begini! Harusnya kan aku lebih keren dengan motor?

ooOoo

 

“Lo udah putus ya sama Uli?” tanya Seto ketika jam istirahat di kantin.

“Putus sih nggak, cuma lagi lagi jaga jarak.”

“Jaga jarak gimana?” kejar Arman dan berharap dia bisa mendapat kesempatan buat mendekati Uli.

“Masa’ dia selalu nolak gue boncengin pulang? Payah! Cewek apaan tuh, sama cowoknya sendiri pakai nolak segala.” Ujo melahap mie pangsitnya.

“Lo harusnya beruntung, Jo. Itu karena dia bukan cewek matre.”

“Gue malah jadi berpikir, jangan-jangan dia cuma mau gue anter pake mobil mewah.”

“Lo jangan salah, Jo,” kata Arman, tak menyembunyikan nada suaranya kalau dia membela Uli. “Liat aja, si Binsar masih kalangkabut kan, padahal dia bawa 318i. Edo pun patah hati, padahal dia bawa Altis. Kalau Uli mau diantar pulang pake mobil, dia bisa milih salah seorang dari mereka, kan? Eh, yang lo bawa sekarang, Scorpio Z ya?”

Ujo mengangguk bangga. “Iya, baru gue beli kemarin. Gue sih paginya baru bilang sama bokap gue, tau-tau pulang sekolah kemarin gue dikasih duit. Ya udah, gue lacak aja.”

“Lo lebih suka motor bekas daripada motor baru ya, Jo?”

“Soalnya gue senang ngumpulin nama dan alamat orang yang ada di STNK. Nggak enak dong. Masa’ dua puluh motor di STNK-nya nama gue semua?”

Seto dan Arman mengangguk-angguk salut. Benar-benar luar biasa si Ujo. Tetap merendah!

ooOoo

 

Ujo dan Uli putus!

Berita itu langsung menyebar. Binsar segera pasang aksi lagi. Edo mulai mengambil ancang-ancang. Ujo dikerumuni teman-temannya. Banyak yang bilang Ujo itu bodoh, masa’ gadis secantik Uli diputusin?

“Yang lebih cantik dari Uli banyak,” sahut Ujo enteng. “Lagian, gue lebih sayang motor-motor gue daripada dia.”

Sementara teman-teman cewek Uli, mengerubungi gadis jelita itu, yang nampak lebih banyak terdiam. Mereka berusaha menghiburnya dan sesekali berkata,

“Malah bagus kamu putus sama Ujo, Li. Ujo itu nggak ada apa-apanya.”

“Betul, Li. Kamu bisa dapat cowok yang jauh lebih keren dari Ujo.”

“Lagian, apa sih yang kamu liat dari Ujo, Li? Udah kerempeng, sok aksi lagi sekarang.”

“Eh, cinta itu kan datangnya kita nggak tahu. Cinta itu kan nggak pandang bulu. Kalo udah jatuh cinta pada seseorang, ya segala kelebihan dan kekurangannya sudah harus diterima.”

Uli masih tetap diam, membuat teman-temannya merasa tidak enak hati. Satu persatu menyingkir, memberikan kesempatan Uli buat menyendiri.

Sepeninggal teman-temannya Uli berkata dalam hati, “Aku diam bukan karena aku sedih, tapi aku malah bingung. Kenapa aku dikatakan putus sama Ujo? Pacaran saja tidak. Kok dibilang putus?”

ooOoo

 

Ujo sudah dapat gandengan baru. Namanya Silvia. Anak kelas 2 bio yang seksi abis. Kabar yang beredar, Ujo naik pangkat setelah putus dari Uli. Uli yang cantik itu aja mau sama Ujo, masa yang lain tidak? Pasti Ujo punya kelebihan, begitu pikir cewek-cewek.

Teman-teman cewek Uli kembali mengerubungi, berusaha menghibur biar Uli tidak bersedih. Uli justru malah tambah bingung. Kenapa jadi begini?

Seminggu kemudian, terdengar kabar kalau Ujo putus dengan Silvia. Bukan Ujo yang mutusin, tapi Silvia yang mutusin Ujo.

Ujo cuma nyengir santai saja ketika teman-temannya meledek. “Gue emang lagi nunggu kesempatan biar putus sama dia. Dua hari pacaran, nggak tahan, man! Maunya banyak! Ngantar ke sini, ngantar ke situ! Emangnya gue ojek!”

“Lo emang bukan ojek, tapi motor lo yang setiap hari ganti itu, bukan punya lo!” suara Silvia terdengar di belakang. Bertolak pinggang dan melotot.

Ujo cuma tersenyum. “Terserahlah lo mau ngomong apa? Lagian Silvia sayang, kita sudah putus. Buat apa memersoalkan itu segala?”

“Biar lo nggak nampang! Motor orang lo bilang motor lo! Jangan-jangan, lo buka bengkel ya?”

Ujo tertawa. “Silvia sayang, gue nggak punya waktu buat ngomongin soal beginian? Hei, semua balik dulu!”

Ujo menaiki Kharisma X-nya. Tetapi Silvia memegang ekor motor sekuat tenaga.

“Turun nggak lo? Balikin tuh kunci!”

“Aduh, Silvia… apa…”

Silvia sudah menyambar kunci yang dipegang Ujo. Ujo mau menyambar, tapi Silvia berkelit. Lalu membuka dompetnya. Menunjukkan sebuah STNK.

“Nih, STNK-nya! Ada nama gue di sini! Gue emang nggak pernah bawa motor ke sekolah! Tuh motor sama Abang gue mau dimodif! Lo enak-enakan ngakuin motor lo! Dasar!”

Ujo kaget. Wajahnya berubah jadi pelangi. Teman-temannya melongo. Silvia menaiki motor itu dan berlalu sambil memaki-maki. Ujo menggaruk-garuk kepala ketika melihat pandangan sengit teman-temannya.

“Sori, fren. Gue…”

“Nggak nukik lo!” bentak teman-temannya serentak dan langsung meninggalkannya.

Ujo nelangsa. Siapa yang sangka kalau motor yang dibawanya itu motornya Silvia? Payah nih Bang Acong, nggak ngasih tau soal itu! Eh, Bang Acong tau apa? Dia cuma seorang modifikator yang buka bengkel di depan kontrakannya. Sudah dipinjemin motor orang aja sudah syukur. Bang Acong itu kakak ipar Ujo. Ujo selalu merengek biar diizinkan minjam motor-motor yang masuk ke bengkelnya. Kata Ujo, nanti kalau ketemu yang punya, dia cuma ngetes.

Ujo mendesah panjang, melangkah meninggalkan tempat parkir. Di ujung sana, di sisi kiri koridor sekolah, sepasang mata memperhatikan kejadian tadi. Sepasang mata yang sedih. Sepasang mata milik Uli.

Dia memang tidak mau diboncengi Ujo pulang. Karena, memang tidak pantas naik motor berduaan. Yang paling utama, Uli kaget ketika melihat motor Ujo. Itu motor Kak Rifal yang lagi masuk bengkel! Meski tau Uli diam saja, membiarkan Ujo memuji-muji motor itu. Uli berusaha untuk tidak mempermalukan Ujo. Karena, dia menganggap, Ujo-lah yang selalu menolongnya dari Binsar, Edo, Firman, Tonny yang berusaha mendekatinya. Padahal, jujur saja, Uli sudah merasa dekat dengan Ujo.

Cuma sayang, Ujo berusaha untuk kelihatan lebih unggul dari siapa pun dengan cara yang salah.

Ah, Ujo, Ujo…[]

 

Fahri Asiza, lahir di Jakarta 6 September 1968. Dalam waktu kurang dari tiga tahun telah menerbitkan sekitar 56 novel dan kumpulan cerpen. Mendapatkan penghargaan Islamic Book Fair Award kategori Penulis Fiksi Produktif 2005 dari IKAPI, Jakarta. Aktif menulis skenario di antaranya, LUV, Kampung Ramadhan, Matahariku, Radio Repot, Tante Tuti, Bajaj Bajuri Baru, Warga Sini Emang Gitu dan yang paling anyar Kejar Kusnadi yang ditayangkan RCTI. Bergabung dengan ANP Writing Group. Sekarang tinggal di Pamulang bersama orang-orang yang dicintainya, Farra, sang istri tercinta dan Faldi, sang jagoan terkasih.

 

Sumber: Majalah SOBAT Muda, Edisi 16/Februari 2006

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.