#20 Medsos Down
#webseriesramadhan | Serial Marbot Madani | By: O. Solihin
Ketika media sosial dinonaktifkan beberapa hari lalu, Aji dan anak-anak Marbot Madani juga sempat ikutan nggak aktif memposting konten dakwah. Grup WhatsApp sepi karena dibatasi pengiriman gambar dan video. Instagram juga kolaps. Facebook lambat sangat, mendekati diem tak berkutik. Padahal, kuota masih full.
Hampir seharian mereka memikirkan persoalan itu. Bukan galau kayak remaja-remaja alay yang nangis bombay karena nggak bisa posting recehannya macam selfie-selfie nggak jelas atau nampilin status yang jauh dari kategori bermutu. Tapi, anak-anak Marbot Madani lebih memikirkan cara lain agar bisa tetap dakwah di medsos meskin ada hambatan atau pembatasan.
“IG, WA, dan FB semuanya dibatasi aksesnya. Nggak bisa maksimal. Memang sih, konten kita selain tulisan adalah gambar yang menarik perhatian netizen. Apakah kawan-kawan punya solusi?” Ryan membuka obrolan dalam diskusi santai di ruang skretariat Marbot Madani.
“Karya harus tetap dibuat sih, jangan kalah dengan kondisi ini. Jangan sampai pembatasan akses membuat kita jadi kendor. So, bikin aja dulu sambil nunggu medsos on lagi,” Luthfi ngasih saran.
“Setuju, daripada bengong nggak karuan, mending tetap bikin karya,” Yasin mengiyakan usulan Lutfhi.
“Bahan buat konten yang biasa kita akses via google, masih bisa juga kok. Selain dari ragam buku yang dimiliki perpus Masjid Daarun Niaam,” Imron menambahkan.
“Betul. Toh, kirim pesan di WhatsApp juga masih bisa walau hanya teks. Kita bisa tetep koordinasi dan bikin tulisan sebagai konten utama dakwah yang disebar di WA, lanjut Luthfi.
“Hmm.. ane boleh usul?” Aji tanya ke forum.
“Boleh. Harus malah,” Yasin mengiyakan.
“Sebenarnya, nyari solusi seperti ini bagus. Tapi down-nya medsos sebenarnya jadi pelajaran buat kita untuk merenung,” Aji seperti sengaja tak melanjutkan. Diam sambil menunggu respon teman-temannya.
“Maksud ente apa, ji?” Bimbim yang duluan nyamber dengan pertanyaan singkat. Teman-temannya yang lain juga menatap lekat ke arah Aji, yang tumben sekarang jadi lebih pendiam. Sesekali aja ngomongnya.
“Begini, kawan-kawan. Kadang kita terlalu fokus pada satu urusan, lalu melupakan urusan lainnya. Padahal, bisa jadi urusan itu sama-sama penting atau bahkan sangat perlu perhatian lebih,” Aji melanjutkan. Teman-temannya belum ngeh dan makin penasaran.
“Langsung aja ke pokok persoalan Ji, jangan muter-muter,” Imron agak ngegas.
“Kita sedang membahas down-nya medsos, yang sekarang kita nyari solusinya. Cuma ane lebih melihat secara subyektif, betapa kita merasa heboh nyari solusi saat medsos dibatasi aksesnya kayak sekarang. Bahkan dengan niat berdakwah akhirnya kita fokus pada persoalan ini. Mengabaikan hal lain. Mungkin ada yang bilang kalo mencari cara agar dakwah tetap jalan ketika medsos dibatasi aksesnya mah itu bagus lah. Masih mikirin umat. Ketimbang yang galau nggak bisa akses IG dan FB karena kehilangan kesempatan untuk selfie dan update status gaje. Tapi Bro, kita perlu memikirkan diri kita sendiri, selain tentunya orang lain. Diri kita yang pertama kali harus ditampar sebelum menampar orang lain. Ya, kita sendiri, termasuk ane, udah mikirin tilawah al-Quran belum hari ini? Kok anteng-anteng aja?” Aji panjang lebar.
Teman-temannya saling pandang. Mereka merasa dikejutkan dengan omongan Aji.
“Benar bahwa kita sepertinya merasa kehilangan betul ketika akses medsos dibatasi. Sekadar down sebentar saja, hitungan jam atau hari. Tapi kita seperti sudah kehilangan segalanya dengan berbagai alasan. Kadang, dakwah juga fokus gimana caranya menyadarkan orang lain, tapi kita lalai atau bahkan lupa menyadarkan diri sendiri. Jadi, ane lebih melihat hikmah di balik dibatasinya akses medsos adalah kita diberi kesempatan untuk merenung. Memikirkan bahwa kita juga butuh menasihati diri kita sendiri,” lanjut Aji.
“Jadi kita tak perlu berdakwah di medsos saat ini?” Yasin meyakinkan.
“Bukan tidak perlu berdakwah. Tetap dakwah, tetapi tidak hanya mengandalkan media sosial. Ada kegiatan nyata di masjid kita ini. Tetap jaga jangan sampai nggak ada kegiatan. Tapi alangkah baiknya untuk saat ini dan bila perlu ke depannya, kita juga tetap memikirkan diri kita agar tidak lalai. Ini sekadar pelajaran kecil bagi kita,” Aji menjelaskan.
Hening. Diam sejenak. Kemudian Aji mengambil al-Quran yang ada terjemahannya. Membukanya, mencari ayat yang dimaksud. Ketemu, surat al-Baqarah ayat ke-44.
“Nih, silakan kita renungkan!” Aji menunjuk ayat tersebut yang berisi pesan mengajak orang lain untuk baik namun lupa akan diri sendiri.
“Ini memang kasusnya untuk orang Yahudi, yang mengajak orang lain untuk beriman dan berbuat baik, namun sayangnya mereka melupakan diri mereka sendiri. Mereka sendiri meninggalkan apa yang mereka perintahkan. Padahal mereka membaca al-Kitab (Taurat). Apakah mereka tidak berpikir?” Aji juga menjelaskan sesuai dengan terjemahan dan sedikit tafsir di dalamnya.
Kembali diam. Tak lama, Imron mengajak yang lainnya mengambil al-Quran dan membacanya. Mereka khawatir terus fokus mengajak orang lain berbuat baik namun diri mereka tak juga bertambah baik. Baca al-Quran seadanya, memecut dirinya agar giat ibadah juga tak sekeras pecutannya kepada orang lain. Merenung.[]
Sumber dari O. SOLIHIN
Recent Comments