Nasi Goreng Dado

By: Iwan

 

Jangan pernah malu dengan keadaan kita sendiri. Kita adalah kita. Apa adanya. Biarin ada orang yang nggak suka, tapi percaya aja pasti ada juga orang yang suka dengan kita ‘apa adanya’. Yang jelas, Allah nggak akan marah kalau kita tampil apa adanya. Ia malah cinta sama kita. Itu juga yang dialami Dado, salah seorang personil geng Rohis.

 

Di SMU Sejahtera Ramah Makmur yang ama anak-anak sering diplesetin jadi SMU SERAM, penampilan emang sering jadi tuntutan. Maklum, sebagian besar penghuni SMU itu kalangan elit. Ada yang bapaknya general manager perusahaan minyak multinasional, anak pejabat, anak selebritis, anak kontraktor, de el el. Maaf aja, agak susah nyari orang susah di sekolah ini. Kalaupun ada ia pasti ngumpetin jati dirinya. Ia pasti udah tertutupi dengan penampilan the have anak-anak borju.

Mulai dari baju ampe tali sepatu kudu yang bermerk. Belum lagi urusan ponsel kudu yang paling anyar, meski nggak sedikit juga yang gatek. Nggak bisa make fitur-fitur itu ponsel.

Hobi anak-anak itu juga macem-macem, en aneh-aneh. Thomas yang ketua OSIS SMU SERAM getol banget ngoleksi asesoris bintang-bintang NBA. Mulai dari pin up, poster, bola basket, kaos, dll. Malah ia sampai punya celana dalem (ups!) salah seorang pemain NBA. Menurut pengakuannya itu CD-nya Shaq O’Neill yang kececer di ruang ganti pemain. Demi hobinya ia sampe berburu ke Amrik segala. Maklum, bapaknya importir film-film Amrik khusus bioskop portable alias layar tancep. Jadi ia sering bolak-balik Indonesia-Amrik untuk nyari film-film terbaru yang bakal diputer di layer tancep se-Indonesia. Baik untuk sunatan, kawinan atau kematian.

Ada juga anak yang namanya Jerry, anak yang sekelas ama Dado di kelas II-3 ini hobi ngoleksi aneka fosil. Maklum bapaknya arkeolog kenamaan. Sering jalan-jalan ke penjuru dunia untuk berburu aneka fosil. Maka, cowok sok ganteng yang bercita-cita jadi VJ MTV ini juga ikutan ngoleksi fosil. Fosil apa aja ia kumpulin, sampe fosil ikan asin juga ia simpen.

Sering juga ia pamerin koleksinya itu ke anak-anak. Ya, supaya anak-anak pada kagum-lah.

“Yang ini fosil manusia salju dari Alpen. Diperkirakan umurnya udah 3000 tahun. Ini potongan jarinya,” katanya suatu ketika sambil mamerin koleksinya di depan temen-temen sekelas. Anak-anak berdecak. Entah kagum, ngeledek atau bingung.

“Kalau yang itu tengkorak siapa?” tanya Dado penasaran sambil nunjuk tengkorak manusia yang disimpen di kotak kaca.

“O, ini tengkoraknya Fir’aun,” jawab Jerry bangga.

“Kalau yang ini?” tanya Dado sambil nunjuk ke tengkorak yang lebih kecil.

“Kalau itu tengkorak Fir’aun waktu masih anak-anak.”

Anak-anak melongo.

ooOoo

Suasana sekolah kayak begitu bikin anak-anak yang kurang beruntung ekonominya rada-rada sirik. Salah satunya adalah Dado. Di antara teman-teman sekelas, Dado emang anak yang hidupnya paling berkecukupan. Maksudnya cukup menderita gitu. Bapaknya cuma tukang nasi goreng keliling. Ibunya dagang sayur di Pasar Pagi.

Lho kok do’i bisa sih sekolah di tempat elit kayak gitu?

Jangan nuduh yang nggak-nggak. Ceritanya gini, suatu ketika (taela kayak dongeng aja) mobil direktur SMU SERAM mogok di tengah jalan. Bannya pecah. Sewaktu Pak Direktur mau mengganti ban tahu-tahu muncullah dua orang cowok berwajah sangar menghampiri sambil bawa kapak ijo. Rupanya mereka sengaja memasang paku di tengah jalan untuk kemudian merampok korban yang mobilnya mogok.

Tanpa ngucapin assalamualaykum apalagi ngajak salaman, mereka menikam Pak Direktur. Untung, beliau sempat berkelit dan teriak minta tolong. Saat itulah Pak Midin, ayahnya Dado, lewat sambil bawa gerobak nasi gorengnya. Dasar punya jiwa penolong, ia langsung mencabut sebatang besi dari dalam gerobak. Karena Pak Midin mantan jawara, cukup dua tiga jurus saja para perampok itu langsung klepek-klepek. Semaput kena gebug batang besi.

Pak Direktur ternyata terkena sabetan belati perampok. Buru-buru Pak Midin memberi pertolongan pertama. Bukan cuma itu, Pak Midin juga mengganti ban mobil Pak Direktur yang sobek. Sementara itu warga yang mulai berdatangan meringkus perampok yang teler di tengah jalan. Setelah mengucapkan terima kasih Pak Direktur pergi meninggalkan Pak Midin.

Beberapa hari kemudian ternyata beliau datang ke rumah Pak Midin. Kali ini bersama keluarganya untuk mengucapkan terima kasih atas pertolongannya. Melihat keadaan keluarga Pak Midin, Pak Direktur merasa trenyuh. Apalagi sewaktu melihat Dado yang waktu itu lagi nyuci gerobak bapaknya. Udah item, dekil lagi.

“Itu anak saya yang kedua, Dado, baru lulus SMP tahun ini,” kata Pak Midin.

“Melanjutkan bersekolah di mana?” tanya Pak Direktur.

“Belum tahu, Pak. Saya lagi mikirin biayanya. Sekolah sekarang mahal. Swasta dan negeri ampir sama. Pemerintah udah nggak merhatiin rakyat kecil. Apalagi si Dado nggak pinter-pinter amat. Udah lulus aja alhamdulillah. Kalau nanti sekolah lagi terus Cuma jadi tukang nasi goreng kayak saya, rugi amat,” jawab Pak Midin bersahaja. Pak Direktur terdiam.

“Pak Midin mau bantu saya nggak?” tanya Pak Direktur lagi.

“Bantu apa, Pak?” Pak Midin penasaran.

“Bantu membalas jasa Bapak pada saya.” Pak Midin bingung, kok minta tolong ngebales jasa ama dirinya sendiri.

“Kalau Pak Midin bingung, saya jelaskan saja. Saya dan keluarga datang ke sini berniat mengucapkan terima kasih atas pertolongan Pak Midin pada saya malam itu. Nah, saya berniat membalas jasa itu, itupun kalau Pak Midin bersedia. Jadi, tolong saya dengan merelakan diri Pak Midin untuk hal itu. Semoga Pak Midin tidak tersinggung,” papar Pak Direktur. Pak Midin menundukkan kepala. Ia terharu.

“Saya memang pantang meminta balas budi pada siapapun, Pak. Tapi kalau Bapak memang berniat demikian, insya Allah saya menerimanya dengan ikhlas. Apa yang mau Bapak lakukan?” kata Pak Midin terbata-bata.

“Saya akan memberikan beasiswa buat anak Pak Midin di sekolah saya, SMU Sejahtera Ramah Makmur. Gratis sampai lulus. Nah, apa Pak Midin bersedia?” tanya Pak Direktur. Pak Midin terperangah. Tidak menyangka kalau itu adalah balasan atas kebaikannya. Tentu aja ia mau.

 ooOoo

 Singkat cerita, Dado akhirnya bersekolah di SMU SERAM. Sekolah elit buat anak-anak elit. Ohoi, anak tukang nasi goreng bersekolah di sekolah mewah. Apa bisa?

Pertama kali menginjakkan kakinya di halaman sekolah, Dado ampir nggak percaya bisa bersekolah di situ. Keren, rapi, wangi. Nggak kayak SMP-nya yang di seberang peternakan ayam Babah Chong yang selalu menebarkan aromanya yang khas, di samping pasar inpres yang kalo musim ujan becek, dan di pinggir kali. Persis di belakang sekolah adalah komplek kuburan tempat para pemasang togel nyari inspirasi. Kalo-kalo aja ada nomor yang tembus.

Masuk kelas ia juga bingung. Bangku dan mejanya bersih banget. Bedaaaa banget ama di SMP yang meja tulisnya banyak ‘batik’. Kalau pas ulangan, anak-anak emang jadi pembatik dadakan, nulis contekan. Sasarannya apalagi kalau bukan meja tulis. WC-nya juga jauuuuh banget. Wangi karbol en bersih, nggak kayak WC SMP-nya yang mirip kamar mayat, bau anyir. Hiii!

Tapi yang bikin Dado stress adalah penampilan teman-teman sekolahnya en kakak kelasnya yang borju abis. Ponsel merek baru sliweran di mana-mana. Belum lagi dandanan yang keren banget. Buku tulis aja keliatannya yang mahal, sementara ia cuma kebeli buku tulis bersampul Meteor Garden atau Captain Tsubasa.

Belum lagi pas bubaran sekolah. Rata-rata dijemput mobil-mobil keren paling anyar. Paling kecil naek motor merek Macan Noceng. Dado sendiri kudu jalan kaki ampe halte bus. Celingukan ia mencari teman yang mau jalan kaki bareng ke halte. Eh, ada juga tuh. Anak cowok berkepala cepak, pake tas ransel yang gede.

“Eh, anak baru juga ya?” tanya Dado coba berakrabia.

“Iya,” jawab anak itu sambil menatap Dado lekat-lekat.

“Kenalin, gue Dado,” kata Dado sambil mengulurkan tangan.

“Thomas,” jawabnya sambil menyambut uluran tangan Dado. Ah, ada juga anak yang senasib. Sama-sama bukan orang kaya, naik Metromini. Keduanya jalan kaki sampe halte bus.

“Elu naik apa? Mikrolet? Metromini? Kopaja?” tanya Dado penasaran.

“Kagak, gue mau naek taksi. Taruna gue lagi mau dibarter Honda City ama bokap, kepaksa gue hari ini naek angkutan umum,” jawab anak itu. Nggak lama kemudian ia udah naek taksi meninggalkan Dado yang bengong sendirian di halte. Nasib, ya nasib.

 ooOoo

Gara-gara itu Dado nyaris mogok sekolah. Semangat belajarnya menurun (padahal sih emang nggak pernah belajar). Ia malu ama temen-temen sekelas. Soal penampilan sama soal jajanan. Setiap jam istirahat Dado milih ngumpet di perpustakaan. Soalnya, ia nggak kuat jajan di kantin sekolah. Bukan nggak kuat makannya, tapi nggak kuat bayarnya. Mahal. Lagian lumayan bisa nonton film India gratisan di tivi perpustakaan.

Terkadang ia mikir kenapa ia jadi anak tukang nasi goreng. Bukan anak konglomerat, atau anak pejabat kayak temen-temen sekolahnya. Nggak ada yang bisa dipamerin atau dibanggain di sekolah. Kalau temen-temennya cerita pernah ke Paris, Venice, Tembok Raksasa Cina, dia cuma nyimak aja. Paling jauh dia pergi ke Kebun Raya naik KRL Jakarta-Bogor ekonomi yang kayak kaleng sarden, penuh dan campur bau ketek orang.

Setiap ditanya bokapnya kerja apa, Dado cuma bilang, “Koki.” Nah, kalau ditanya koki di restoran mana, atau hotel mana. Dado ngeles, pindah-pindah, nyari pendapatan yang lebih gede. Sekarang lagi di Hilton, di sana pendapatannya gede. Maksudnya bapaknya dagang di trotoar belakang hotel itu.

Untuk jaga penampilan, Dado bela-belain nyari sepatu bermerk di pasar loak. Duit jajannya ditabungin untuk beli sepatu itu. Dia juga lagi mikir untuk beli ponsel. Cuma bingung, apalagi yang harus diirit ya? Abis, nggak ada lagi yang bisa ditabungin. Setiap temennya nanya berapa nomor HP-nya, Dado cuma bisa ngejawab lagi males punya ponsel, abisnya nanti nggak bisa belajar, nelepon melulu.

Tapi nggak semua anak SMU SERAM pada belagu. Ia kenal seorang anak yang kayaknya baek. Namanya Eri. Itu anak paling aktif. Ia kepilih jadi ketua kelas merangkap rohis. Lagian ia nggak keliatan borju. Nenteng HP juga nggak, pulang sekolah juga cuek aja naik Bajaj.

So, ia nekat pengen duduk bersebelahan ama anak itu. Karena takut ditolak, ia terlebih dahulu mengirim sepucuk surat permohonan yang disimpan di laci meja.

Kepada Yth. Eri Hikmawan

di tempat

 

Dengan Hormat,

Bersamaan dengan ini saya mengajukan permohonan untuk menjadi chair-mate Anda. Adapun data pribadi saya adalah sbb:

 

Nama                : Dado

Jenis Kelamin : Pria (nggak usah digambar ya!)

Usia                   : 15 tahun jalan 8 bulan

Bintang             : Sagitarius

Hobi                  : Nemenin makan orang lain

 

Demikianlah surat ini saya buat sejujurnya, dengan penuh kesadaran dan tanpa paksaan orang lain. Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih.

 

Hormat Saya

 

Besok paginya, anak bernama Eri itu udah nyegat di depan kelas.

“Assalamu’alaykum, elu yang namanya Dado?” sapanya ramah.

“Eh, wa ‘alaykum salam. Betul, gue Dado,” gelagapan Dado disapa ramah. Pake salam segala lagi.

“Surat permohonan elu sudah gue baca. Gue juga udah pertimbangkan. Elu boleh jadi temen sebangku gue,” kata Eri sopan. Dado ampir bersorak.

“Jangan seneng dulu. Ini baru masa percobaan. Selama 3 bulan kita harus terikat perjanjian. Ini klausul perjanjiannya, elu baca dulu. Kalau deal, elu boleh duduk sebelah gue, kalau nggak ya nggak jadi,” Eri nyerahin selembar kertas pada Dado.

Dengan teliti Dado baca isi perjanjian itu:

 

  1. Teman sebangku harus menghormati hak tetangganya.
  2. Saling mengucapkan salam kalau ketemu di mana juga.
  3. Siap tolong menolong dalam kebaikan dan takwa dengan teman sebangku
  4. Tidak boleh ngutil barang tetangga.
  5. Menjaga kebersihan; nggak boleh ngupil di depan teman sebangku. Juga nggak boleh buang angin sembarangan, terutama kalau bau.
  6. Saling mengingatkan soal shalat berjamaah.
  7. Nggak boleh pelit soal pelajaran, kecuali kalau ulangan.
  8. Harus rajin sikat gigi dan ganti kaos kaki, agar tidak mengganggu konsentrasi belajar teman sebangku.
  9. Harus tahu alamat rumah, nomor telepon, ponsel teman sebangku.
  10. Dilarang mendudukkan teman cewek di bangku sebelahnya.
  11. Dilarang keras ngomongin cewek. Apalagi kalau jelek.
  12. Selama pelajaran berlangsung, harap menyimak dengan tenang. Jangan berisik atau usil.
  13. Harus saling terbuka dalam masalah pribadi, dengan tetap menjaga kerahasiaan dari orang lain.
  14. Bila temen sebangku sakit, kudu nengok dan diusahain bawa makanan kesukaannya.
  15. Peraturan yang belum tertulis akan dibicarakan lebih lanjut dan dalam tempo sesingkat-singkatnya.

 

“Oke, gue setuju,” jawab Dado.

Sejak itupun mereka jadi teman sebangku. Ternyata Eri emang chair-mate yang asyik punya. Terutama karena dia rajin bawa cemilan dan buku-buku agama. Malah ia lebih rajin ngajak shalat berjamaah setiap abis pulang sekolah. Shalat dluha juga nggak ketinggalan. Eri juga ngajak Dado untuk ikutan aktif di kerohanian Islam. Wah, Dado yang biasanya males-malesan shalat jadi ikutan rajin shalat. Mulanya sih kepaksa, tapi akhirnya enjoy juga.

 

ooOoo

 

Udah hampir 3 bulan Dado duduk sebangku ama Eri. En, ternyata Eri orang baik. Ya, setidaknya ia bukan bromocorah, residivis atau penjahat kambuhan. Udah gitu, si Eri ngocolnya juga asyik punya. Tebak-tebakkannya juga banyak.

 

“Do, kalau ternyata monyet berevolusi jadi manusia, berarti manusia jadi apa?” tanya Eri ngasih tebak-tebakkan. Dado bingung.

“Wah, gue belum pernah baca buku The Descent of Man-nya Charles Darwin, Ri,” kata Dado nyerah.

“Kalau monyet jadi manusia, itu berarti manusia jadi tambah banyak, dong. Betul, nggak?” jawab Eri kegirangan. Dado nginyem.

“Terus fungsi ekor pada monyet itu untuk apa, Do?” Eri ngasih tebakan lagi. Dado makin bingung.

“Buat gelantungan, kali ya?” tebaknya asal.

“Salah. Yang jelas buat ngitung; satu ekor, dua ekor, tiga ekor. Horee hidup gue!” Eri teriak kegirangan tebakannya kagak ada yang bisa ketebak ama Dado.

Eri orangnya terbuka ama Dado. Katanya, bokapnya dosen, ibunya juga dosen. Dua-duanya ngajar matakuliah agama dan rajin bikin buku. Dia masuk SMU SERAM karena kualitas sekolahnya bagus. Guru-gurunya bermutu, en baik-baik.

Tapi Dado nggak bisa terbuka ama Eri. Ia malu ngakuin kalau bokapnya pedagang nasi goreng keliling. Eri pasti kagak percaya. Setiap Eri pengen maen ke rumah, Dado nolak dengan halus. Alasannya rumahnya lagi direnovasi, belum beres. Begitu juga waktu Eri nanya nomor telepon rumah, Dado cuma bilang teleponnya mati, kesamber petir. Sampai sekarang belum dikuburin apalagi dibikin tahlilan. Untuk sementara keliatannya sih Eri masih percaya dengan omongan Dado. Justru karena itulah Dado semakin stress. Dia ngerasa dosa ngebohong sama orang sebaik Eri.

Sore itu Dado lagi ngelamun mikirin semua kebohongannya ama Eri. Ia takut terbongkar, tapi juga takut keilangan temen kayak Eri. Saking seriusnya ngelamun ia nggak ngeliat ibunya, Mak Entin, lewat bawa keranjang cucian. O ya, Mak Entin emang buka laundry, tapi manual nggak elektrik. Nyucinya di sumur belakang rumah.

“Anak muda jangan ngelamun,” tegur ibunya saat ngeliat Dado lagi bengong di depan rumah. Dado kaget.

“Do, ibu minta tolong,” kata ibunya.

“Minta tolong apa, Mak?” tanya Dado sambil berdiri.

“Tolong gantiin bapakmu dagang dua malam ini. Bapakmu sakit. Padahal kita lagi butuh duit untuk bayaran sekolah adikmu. Tabungan emak udah mau abis. Kalau nggak dibayar, nanti adikmu nggak bisa ikut ujian,” kata emak sambil menatap wajah Dado lekat-lekat. Dado bimbang. Antara gengsi dengan sayang ama keluarganya. Kalau gue dagang terus ketemu ama temen-temen gimana nasib gue?

“Kamu libur kan dua hari ini, tolonglah Do, dua malam ini aja,” pinta emaknya. Dado nggak tahan nolak permintaan emaknyanya akhirnya mengangguk setuju. Wajah emaknya seketika ceria. Ah, wajah itu, nggak akan pernah Dado lupakan sampai kapanpun. Teduh en penuh cinta.

 

ooOoo

“Nggak ada yang lupa, Do?” tanya emaknya pada Dado yang udah siap-siap ngedorong kendaraan dinas bapaknya, gerobak nasi goreng, bada maghrib. Dado meriksa lagi; kerupuk, acar, jeroan, nasi, bumbu. Ah, semua komplit.

“Udah ada semua, Mak,” jawabnya sambil siap berangkat.

“Ntar dulu, Do. Ada yang ketinggalan,” kata emaknya yang buru-buru masuk ke rumah. Dado penasaran. Apaan lagi?

Emak keluar sambil bawa satu kantung plastik warna item. Diserahkannya ke Dado.

“Sajadah ama sarung buat shalat. Jangan sampai kamu nggak shalat Isya. Pulangnya pasti kamu udah ngantuk. Mending shalat di tempat mangkal aja.”

Ah, mata Dado jadi berkaca-kaca. Ternyata bapak dan emak, memang orang-orang yang taat. Shalat aja nggak pernah ketinggalan. Bungkusan itu pun diterima dan disimpen dalam gerobak.

“Dado berangkat dulu, Mak. Assalamu’alaykum,” Dado nyium tangan emak.

“Wa’alaykum salam, ati-ati, Do,” jawab emak sambil ngelepas anaknya pergi ngedorong gerobak nasi goreng.

Sepanjang jalan Dado coba untuk tabah. Menebar senyum ama tetangga-tetangganya. Habis mereka tahunya si Dado sekolah di tempat elit, kok mau dagang nasi goreng.

“Gantiin bapak, Do?” tanya Pak RT.

“Eng, enggak Pak. Ini lagi praktik lapang untuk pelajaran ekonomi dan bisnis. Buat bahan ujian,” jawab Dado grogi. Pak RT ngangguk-ngangguk sambil bingung. Ya, ampun kok gue ngebohong lagi, Dado membatin. Astaghfirullahaladzim.

Lampu-lampu natrium sudah menyala terang ketika Dado melewati rute dagang bapaknya. Ah, betapa tidak menyenangkannya jadi seorang pedagang nasi goreng. Kedinginan apalagi kalau hujan. Andaikan hidupnya senyaman Eri, Thomas, atau teman-teman sekelasnya mungkin ia nyaman. Bapak juga nggak perlu keluar setiap malam untuk berjualan nasi goreng. Ibu juga nggak perlu dagang di pasar dan nyuciin baju-baju tetangga. Dan dia nggak perlu berbohong pada siapapun tentang keadaannya.

Tapi kesedihan hati Dado sedikit terobati setelah banyak orang yang membeli nasi gorengnya. Dari perjalanan menuju pangkalan aja sudah ada sepuluh orang pembeli. Dan yang bikin hati lega adalah nggak ada yang komplain soal rasa dan pelayanannya. Rata-rata puas. Nggak ada yang sampai muntah-muntah, pingsan atau dibawa ke UGD. Huss, emangnya nasi goreng rasa racun tikus?

Begitu pula di pangkalan tempat bapak biasa dagang, pembelinya semakin banyak. Orang tua en remaja rela nungguin nasi goreng. Ada yang menyantapnya di tempat, ada juga yang membawanya pulang.

Beberapa anak muda dengan santai menyantap nasi goreng bikinan Dado di dalam Jeep mereka. Suara musik yang berdentam-dentam keluar dari tape mobil. Mereka amat menikmati malam liburan ini. Rasa iri itu kembali hinggap di hati Dado.

Menjelang pukul 11 malam pembeli sudah berkurang. Nasi goreng dan mie goreng juga udah ampir abis. Sambil siap-siap mau pulang ia mencuci beberapa piring kotor.

“Nasi gorengnya dua, Do!” suara itu bikin Dado jantungan. Piring-piring yang sedang ia cuci ampir aja berjatuhan. Seorang anak cowok berdiri di depannya. Eri! Dado ampir pingsan.

“Rame juga yang beli?” tanya Eri cuek. Dado masih melongo.

“Hei, jangan bengong gitu, gue laper nih. Dua piring nasi goreng, OK?” kata Eri.

Tergagap-gagap Dado menyiapkan dua porsi nasi goreng. Tangannya jadi gemetaran, keringet dingin keluar. Abis udah segala kebohongan gue, si Eri tahu semua rahasia gue. Sebentar lagi di sekolah nggak ada yang bakal mau bergaul sama gue. Pikiran-pikiran itu berkecamuk di kepala Dado sepanjang bikin nasi goreng.

Nggak berapa lama pesanan itu udah beres. Ia membawanya menghampiri Eri yang duduk di bangku taman. Kok, sendirian?

“Berdua atau sendiri, Ri?” tanya Dado masih gugup.

“Sendirian,” jawab Eri sambil nangkring di motor bebek itemnya. Sendirian kok mesen dua? Tanya Dado dalam hati.

“Sendirian? Terus ini…?”

“Gue minta elu nemenin makan di sini. Itu juga kalau elu nggak sibuk,” potong Eri sambil duduk ke bangku semen di taman. Ragu-ragu Dado menerima tawaran itu. Tapi begitu Eri ngegeser duduknya, nyediain tempat buatnya, ia duduk juga sambil memegang satu piring nasi goreng bikinannya sendiri.

 

“Gue mau minta maaf sama elu, Do,” kata Eri tiba-tiba. Dado kaget.

“Sebenarnya gue udah tahu sejak lama kalau bokap elu pedagang nasi goreng. Gue udah sering beli di sini. Gue juga udah tahu dimana rumah elu,” tambah Eri.

“Jadi selama ini elu mata-matain gue?” Dado tersinggung.

“Nggak juga. Gue tahu rumah elu waktu diminta wali kelas kita nganterin surat. Tapi gue nggak jadi nganterin surat itu ke rumah elu. Padahal gue udah nyampe di depan pintu rumah,” jawab Eri. Dado diam.

“Terus elu nggak cerita ke temen-temen kita?” tanya Dado pelan. Harap-harap cemas.

“Nggak. Gue pengen cerita itu dateng langsung dari mulut elu, pengakuan yang tulus dari seorang temen,” kata Eri pelan.

Dado terdiam. Ia nggak tahu harus ngomong apa. Jadi, selama ini Eri menyimpan rahasia dirinya. Demi dirinya, kawan sebangku yang sudah berbohong padanya.

“Do, elu nggak mesti bohong soal siapa diri elu. Nggak ada gunanya elu nutup-nutupin soal itu semua. Percayalah, elu lebih baik dari gue, dari semua anak di sekolah kita. Elu udah belajar usaha sejak muda, sementara gue dan kebanyakan temen-temen masih minta duit dari orang tua,” papar Eri.

“Lagian, kata guru ngaji gue, kekayaan materi nggak ada artinya di mata Allah, dibandingkan kekayaan hati kita. Allah cinta sama orang-orang bertakwa, bukan sama orang yang kaya,” lanjut Eri. Dado membisu. Ada air mata bening di sudut matanya. Ah, kenapa ia lupa dengan itu semua. Kenapa ia lupa kalau baik buruknya orang itu adalah menurut Allah, bukan menurut manusia. Perasaan haru, senang sekaligus bersalah silih berganti mengisi hati Dado.

 

“Ri, gue yang harus minta maaf. Gue udah berbohong banyak betul sama elu,” kata Dado usai menyantap nasi goreng. Eri tersenyum.

“Nggak usah, Do. Mungkin gue juga bakal begitu kalau gue jadi elu. Tapi dengan kejujuran insya Allah temen-temen bakal nerima kita apa adanya,” erat-erat Eri menyalami tangan chair-mate-nya itu.

Dado menolak uang Eri sewaktu ia mau membayar dua porsi nasi goreng pesanannya. “Gue yang traktir,” kata Dado. Eri tersenyum.

“Ri, kenapa elu nggak cerita sama gue kalau elu udah tahu rahasia gue?” tanya Dado saat Eri naik motor. Eri membuka lagi helmnya.

“Demi pertemanan kita, Do. Gue nyari waktu yang pas untuk ngomong semuanya. Supaya elu nggak tersinggung. Bukankah kita semua punya harga diri?” jawab Eri sambil menundukkan kepala. Tenggorokan Dado tercekat. Ah, ketua rohis sekolah ini memang baik banget.

Di bawah tatapan lampu taman mereka berpisah. Dado menatap motor Eri yang perlahan menghilang di tikungan. Dado membalikkan badannya dan menatap gerobak nasi goreng ayahnya. Sekarang ia tersenyum. Perasaan iri dan malu tidak ada lagi. Ya, gue harus jujur. Jujur pada temen-temen, dan yang paling penting jujur pada diri gue sendiri.

Gerobak itu didorongnya menuju rumah. Kali ini terasa lebih ringan. Seringan perasaan hatinya.

 

Sumber: Majalah Permata, Edisi 23/Mei 2004

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.