Kisah Cinta Sang Revolter

Oleh: Fathin

 

Sobat, aku pulang malam ini. Mendung gemulung, air tercurah seakan langit sudah tak sanggup menanggung bebannya. Bulan Desember, kata orang gedhe-gedhene sumber. Kereta api ekonomi yang aku tumpangi goyang sana-sini, berderak-derak rodanya melindas rel, membuat para penumpang tak nyaman dalam duduknya, ada yang gelisah, ada yang ingin tidur tapi tak nyenyak. Aku merapatkan jaket lalu berusaha tuk memejamkan mata. Para pengamen yang sedari pagi mengais rezeki, memilih duduk diam di kursi yang kosong dan sesekali menggosok-gosokkan tangan, mengharap sedikit kehangatan, dalam dinginnya udara yang lembab dan tak bersahabat. Kaca berembun, alam seakan ingin membekukan apa saja yang ada dalam pelukannya. Guntur menggelegar membangunkan bayi dari lelapnya, menangis, mengoek, memaksa sang ibu tuk menyusuinya. Tanpa segan sang ibu mengeluarkan teteknya, demi hilangnya keterkejutan sang buah hati. Kasih ibu sepanjang masa, kasih anak sepanjang galah. But mom…I love U.

Sobat, aku pulang malam ini. Takkan kulewatkan momen penting, aksi damai yang telah kita rencanakan. Demi sejahteranya rakyat dan sadarnya para pejabat. Suara revolusi kan kita gemakan. Kita hembus bara dalam sekam, agar api menggelora dan membakar. Udara boleh dingin, tapi kita tetap hangatkan diri dengan ideologi ini. Light up the world with Islam.

ooOoo

 

Stasiun kota Malang, basah oleh hujan, ramai orang, terasa tak nyaman. Boim keluar stasiun sambil menenteng sebuah tas…semoga saja isinya bukan bom (he…he…he…). Ia berjalan cepat-cepat dan sesekali melompat menghindari genangan air. Brrr…dingin… pikirnya. Ia berlarian menembus gerimis, menyeberang jalan, mendekati angkot yang sedang menunggu penumpang di pojok jalan. Fiiiiuuuuhhh…penuh, tinggal satu tempat yang kosong. Ketika hendak memasuki angkot, tiba-tiba ia merasa pantatnya dicolek.

“Hey Mas…enak aja main slonong!”

Boim menoleh, kok suaranya aneh. Huuuuaaaaa…ada bencong stasiun.

“Eike duluan yang booking tuh tempat!”

“Oh maaf Mas!” ujar Boim lalu turun dari angkot.

Mas…mas…kapan aku rabi karo mbakmu!” jawab bencong itu kethus, kemayu, pokoknya nggemesin deh.

Boim mengalah. Seorang makelar menawarinya angkot lain yang masih kosong. Nasib dah, dicolek bencong. Hmmm…korban sistem tuh, salah urus sih, jadi bencong karena depresi sosial.

Sobat, gelap sejak tadi merajai langit. Sang surya berjam-jam yang lalu telah beringsut istirahat. Kelam, tak berbintang, hanya awan kelabu, menggantung, menggunung, menunggu jatuh sebagai hujan. Kabut tipis campur asap pinggiran kota. Bau alam yang kurindukan. Laron terbang mengelilingi lampu neon. Warung gorengan pinggir jalan menjanjikan camilan yang membuat perut keroncongan menjadi kenyang. Huh…angkot penuh, terjebak macet, bau asap kendaraan. Waaadduuuuh…ada akhwat yang ikut naik lagi. Ups…penuh…please deh mbak jangan duduk dekat saya. Waaa…waa…aduuuh…kok malah duduk dekat saya. Hmmm…semoga saja nggak ada kuch kuch hota hai nih…he…he…he…!.

Kota Malang, malam minggu, lalu lintasnya sering macet, apalagi jalur yang ke kota Batu. Boim salah satu user angkot yang ikutan sebel dengan masalah satu ini. Apalagi nih, di sampingnya ada akhwat, malah tambah gaswat. Berjilbab biru dan berkerudung putih, cantik lagi. Sungguh, Boim nggak berani memandang. Apalagi coba-coba tuk lirak-lirik…nggak deh.

Duduknya pun digeser agar tak bersentuhan langsung dengan sang akhwat. Kepalanya neleng terus ke kiri, memandang keluar, lewat jendela belakang, sampai sang akhwat turun. Waduuuh, tengler juga tuh leher. (Tapi nggak papa kok Im, gadhul bashar. Siiip …dah!)

ooOoo

 

Selamat pagi kota Malang tercinta. Huuuaaaah segernya, habis mandi langsung sarapan sama nasi pecel. Semalam suntuk sama temen-temen buat plakat dan spanduk untuk aksi hari ini. Keren coy…SAVE THE WORLD WITH KHILAFAH. Impianku, ketika kubuka mata ini di pagi hari, aku telah memiliki KTP Khilafah State. Ngomong-ngomong masalah Khilafah, aku jadi inget sama si tengil A’yun, my honey bunny sweety baby. Adikku, yang ceriwis, tapi manis…hmmm…aku bangga sebagai abangnya. Masih SMA loch…tapi dia berani dan siap menjadi sosok REVOLTER.

Kami berdua kongkalingkong mencoba tuk membuat ngeh mommy sama daddy dirumah tentang ide penerapan Syariat Islam dengan metode penegakan Daulah Khilafah. Daddy hanya komentar, “Bisa dimakan nggak tuh Daulah Khilafah?” Kalo mommy malah skak mat diriku dengan statemen yang seperti biasa “ Wis nggak usah macem-macem, ngurusi masalah politik segala, apalagi tuh mendirikan kilapah…kilapah… Selesaikan dulu kuliahmu!”

Nah loh kena kau! Hmmm…Nakal juga ya. Udah semester sebelas nih…nggak lulus-lulus juga. Aaah…seharusnya nggak boleh ya, karena alasan dakwah, sekolah jadi keteteran. Malunya diriku.

ooOoo

 

Islam…tegakkan…

Syariat…terapkan…

Khilafah…dirikan…

Demokrasi…hancurkan…

Allahuakbar….Allahuakbar…

Pukul delapan pagi suara gema aksi damai menggaung di langit kota. Ratusan manusia berbaris rapi membawa plakat dan spanduk. Al-Liwa dan ar-Raya’ berkibar di angkasa. Niatan mereka bukan tebar pesona, tapi demi menyadarkan umat tentang kewajiban dan hak-haknya. Mengopinikan sebuah ide yang cemerlang. ISLAM IS THE ONLY SOLUTION.

Boim saat ini bertugas jadi security, cengar-cengir sama bapak-bapak polisi dan intel-intel yang keluyuran. Bekerjasama menjaga keamanan. Para wartawan juga ambil bagian, jepret sana jepret sini. Syut sana syut sini, tapi kok yang paling banyak di syut bagian akhwat sih? Syut opininya dong!

Boim melihat sang adik ikut teriak-teriak sambil mengacungkan kepalan tangannnya ke angkasa. Ok juga tuh! Allahuakbar! Lalu…crrrssss….deg-deg…deg-deg…Boim melihat sosok akhwat berjilbab biru kemaren malam. Waadduuuuh…gaswat. Ia lempar pandangan ke arah lain dan berusaha tuk melupakan sosok akhwat cantik yang telah mencuri hatinya sejak kemaren malam.

“Oooooiiiiii bro kenapa?” tanya A’yun menepuk kedua pipi abangnya. Poooong…Boim tersadar dari lamunannya. Boim pun memonyongkan bibirnya, maju tiga senti deh, tapi tetep cakep kok, nggak kalah cakep sama The Ape cover Aneka Satwa (he…he…he…)

“Sist…ayo kuantar pulang, sekalian ada yang ingin kubicarakan!” ajak Boim.

“Weeee….ada maunya nih!”

“Sist…tuh akhwat berjilbab biru dekat sama kamu tadi siapa?” selidik Boim sambil menyejajari langkah adiknya.

“Yang mana sih bro…yang berjilbab biru kan banyak!”

“Itu tuh, yang berjilbab warna biru langit polos…trus ada tahi lalatnya di dagu!”

“Yeeee…kok tau ada tahi lalat di dagunya. Di kemanain tuh pandangan. Kok ya sempet-sempetnya lirak lirik barisan akhwat!” protes sang adik.

Boim hanya cengengesan. “Boleh tuh…kenalin donk!”

“Tuh namanya mbak Ana. Cantikkan?” ujar A’yun.

“Agamanya bagus nggak tuh…gimana dakwahnya?”

“Emmm… Ana cari tahu dulu ya bro…boleh juga selera abang…!” goda A’yun

“Siiiip…!” ujar Boim sambil mengacungkan jempolnya.

A’yun merasa maklum dengan abangnya. Dia paham abangnya punya niat tuk menyempurnakan separuh agama…alias nikah…. Udah deh nggak pake lama…nggak usah pacaran…langsung tembak!

Hmmm…apa yang harus kukatakan sama ukhti Ana yaaa…perihal abangku yang ingin ta’aruf sama beliau. Sudah siapkah ukhti Ana untuk menerima dan menikah dengan abangku. Kulihat aktivitas beliau begitu padat. Kuliah, dakwah, kerja sambilan, bahkan sempat tercetus kemaren walau dengan nada bergaurau, beliau ingin menikah tapi nanti empat tahun lagi.

Waah…kelamaan tuh, tapi kucoba tuk pastikan. Hasilnya, setiap kali kutanya, beliau selalu diam, no comment. Sampai akhirnya abangku menulis sebuah surat untuk beliau. Tak tau tuh isinya apa…surat cinta kalee. Pingin liat ah, eh nggak boleh ya..tapi penasaran nih. Ah nggak jadi deh. Tiga hari kemudian ukhti Ana menitipkan sebuah surat, tipis banget, lebih tipis dibanding surat yang di kirim oleh abang tersayang. Hmmm…diterima atau ditolak ya? Bro and Sist…read the next story.

Assalamu’alaikum,

Ana sudah baca surat antum. Ana paham maksud antum, tapi ana nggak tahu apa yang harus ana lakukan. Sungguh, hal ini membuat ana terkejut dan sempat bingung. Tiga hari ana pendam masalah ini, dan cukup hanya Ana dan Allah yang tahu, apa yang Ana rasakan. Sebuah keputusan yang sulit bagi Ana, karena menikah bukan hal yang sembarangan. Ana bermunajat kepadaNya selama beberapa hari ini. Ana konsultasikan kepada orang yang lebih paham tenang hal ini. Keputusan Ana…afwan, Ana belum siap untuk menikah dalam waktu dekat. Orangtua Ana mengharapkan Ana melanjutkan kuliah ke luar negeri selama empat tahun, sekalian membantu ayah mengelola sebuah perusahaan di sana. Afwan…sungguh. Kalaupun kita berjodoh…insyaallah kita pasti bertemu. Kalaupun tidak, semoga Allah mengganti jodoh kita dengan yang lebih baik. Terima kasih atas perhatiannya selama ini. Hendaknya apa yang terjadi, tidak menjadikan kita jauh dariNya. Semoga kita bisa mengambil hikmah dari semua ini. Afwan, keep istiqomah!

Wassalamu’alaikum.

ooOoo

 

Kota Batu, sore hari, di gubuk tengah sawah belakang rumah kontrakan, Boim membaca surat dari sang akhwat pilihan. “Kreteek..kreteek…praaaaak…hancur hatiku…mengenang dikau…!” senandung A’yun menggoda sang abang. “Ooohh…gadis berjilbab biru, teganya kau menolak Boim yang cakep ini!” sambungnya sambil mengelus pipi sang abang.

“Ayuuuun…sini kau!” Boim mencoba tuk mengejar sang adik.

“Hei bro, nggak usah patah hati lah. Tuh masih ada akhwat pake jilbab coklat putih!” teriak A’yun dari kejauhan.

“Manaaaa…!”teriak Boim.

“Tuuuuhhhh…emmmmoooooo!” goda A’yun sambil menunjuk sekumpulan sapi perah yang sedang merumput. Ha…ha…ha…ha…berakhirlah kisah cinta sang REVOLTER, walau garang di jalanan, REVOLTER juga manusia, punya rasa punya hati. Laa tahzan, bro![]

 

[Malang, 2005. Thanks tuk Boimovic yang jadi inspirator and ngizinin ana pake nickname antum]

 

Sumber: Majalah SOBAT Muda, Edisi 16/Februari 2006

 

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.