Marbot

By: Agusmantono


Tididiiit … tididiit… tididiit….

Aku terperanjat. Kubuka mataku yang terasa berat dan perih. Aku merasakan seperti ada benda berat yang menggantung di kelopak atas mataku. Cepat-cepat aku meraih benda segenggaman yang sejak tadi menjerit membangunkanku. “Iya, sudah bangun, nih!”

Segera kutegakkan tubuhku. Kuraih sakelar lampu yang menempel di dinding. Ruangan tiba-tiba dipenuhi cahaya. Aku pun langsung menuju pintu dan langsung ke kamar mandi untuk berwudhu. Suara adzan bersahut-sahutan dari masjid-masjid. Mendayu-dayu memecah pagi.

Di kamar mandi aku mulai menyadari bahwa masjid terdekat dari rumahku belum ada yang mengumandangkan adzan. Buru-buru aku bersiap-siap. Pasti Maman molor lagi, batinku.

Marbot baru masjid kami itu memang selalu terlambat bangun subuh. Sudah seminggu dia jadi marbot menggantikan Pak Aji yang berhenti, hanya dua kali saja ia bangun subuh untuk azan. Selebihnya aku yang azan dan membangunkannya. Aku tak habis pikir bagaimana bisa ia tidak bangun subuh-subuh begini. Padahal suara azan dari masjid-masjid lain begitu lantang terdengar.

Selesai wudhu buru-buru aku bersalin pakaian untuk sholat. Secepatnya aku melesat menuju masjid.

Benar seperti dugaanku, Maman memang belum bangun. Lampu-lampu masjid masih belum dinyalakan. Pintu-pintu belum dibuka. Terpaksa aku menggedor pintu kamar Maman yang terletak di ujung teras masjid sebelah kiri.

“Assalamualaikum! Maman, bangun! Udah subuh, nih!” seruku keras-keras.

Tapi tak ada tanda-tanda Maman mendengar panggilanku. Ya, itu lagi masalahnya, Si Maman itu kalau tidur memang kebo banget. Susah untuk dibangunkan. Kemarin malam saja aku terpaksa menggedor jendela yang letak tempat tidurnya di dekat itu. Bahkan pernah sekali aku menggedor menggunakan batu agar bunyi yang dihasilkan lebih keras.

Aku kembali mencoba menggedor pintu kuat-kuat. Tapi beberapa saat tetap tak ada jawaban. Tak ingin mengulur-ulur waktu lebih lama lagi aku segera mencari batu sebesar genggaman di halaman masjid. Segera kugedor jendela kamar Maman dengan batu itu.

Tok! Tok! Tok! Tok!

“Mamaaan!! Banguuun! Buka pintunya! Masjid lain udah selesai azan tauk?!” seruku.

Aku mengulang memukul jendela dengan batu. Beberapa saat kemudian terdengar bunyi kretek-kretek. Daun jendela terkuak dan muncullah kepala Maman di situ.

“Eh, kamu No?”

Aku menahan dongkolku. “Bukain pintu tauk?!” geramku.

“Iya, sebentar. Udah subuh ya?” jawab Maman tak berdosa. Aku semakin dongkol.

Begitu Maman membukakan pintu aku langsung menyelonong masuk. Kunyalakan amplifier yang terletak di dalam kamar itu, lalu aku segera membuka pintu samping yang menghubungkan kamar Maman dengan bagian dalam masjid. Tapi langkahku terhenti melihat Maman yang duduk mencangkung di ambang pintu, bukannya segera berwudhu atau membukakan pintu-pintu masjid yang masih terkunci.

“Cepat buka pintu-pintu, Man! Lihat tuh, di luar sudah banyak orang yang mau masuk.” Bentakku.

Baru Maman bangkit sambil mengucek-ucek matanya. Lamban sekali ia berjalan ke arah tempat wudhu.

ooOoo

 

Maman. Nama itu kian akrab saja di telingaku akhir-akhir ini. Ia semakin sering saja mengisi ruang kepalaku. Bagaimana tidak, dua malam berturut-turut setelah pagi ketika kugedor jendelanya dengan batu itu, Maman tetap saja tidak bangun subuh. Selalu saja aku yang membangunkannya. Tadi malam malah ia tidak ada di kamar. Tentu saja aku pusing memikirkannya.

“Kemana kamu malam tadi, Man?” tanyaku pada Maman siang itu. Kesabaranku memang sudah kian menipis. Rasanya sudah sepantasnya aku mengkonfirmasikan hal ini kepada Maman yang kelihatannya cuek saja.

“Eh… anu, No, aku ketiduran di tempat teman.” Jawab Maman sambil menunduk.

“Weleh-weleh…” aku geleng-geleng kepala. “Kok sampai ketiduran gimana toh? Apa kamu nggak ingat kalau kamu tuh punya tanggung jawab menjaga masjid?”

Maman tak menjawab. Ia pura-pura sibuk membaca selebaran Jum’at yang terbaru.

“Kamu itu ketiduran gampang, bangun susah. Kenapa sih?” tanyaku lagi.

“Nggak tahu, No. Aku sendiri nggak tahu kok aku susah dibangunin.”

“Masa setiap hari aku yang azan subuh. Bukannya aku nggak mau ya, tapi itu kan kewajiban kamu sebagai marbot di masjid ini. Sekali-sekali sih nggak apa-apa, tapi kalau setiap hari?”

“Aku tahu, No. Aku minta maaf. Aku benar-benar nggak ngerti, aku susah sekali bangun pagi-pagi.”

Aku menarik nafas. Pusing rasanya kalau sudah begini. Ingin marah rasanya, tapi terus terang, aku juga merasa kasihan. Lagipula dia sendiri sudah mengakui kesalahannya begitu. Namun, sekali lagi, aku juga tidak mau terus-terusan dia seperti ini.

Aku berpikir-pikir. “Gimana kalau kamu beli weker saja? Biar bisa untuk ngebangunin.” Kataku mendapatkan ide. Ya, mungkin dengan adanya weker Maman bisa bangun tepat waktu.

“Eng… iya, No. tapi… anu, kalau sekarang aku belum punya uang untuk beli weker.” Maman agak segan-segan. “Kamu tahu aku tinggal di masjid ini kan karena tak punya uang untuk menyewa kos-an. Aku benar-benar…”

“Ya, sudah, nanti aku yang belikan, ya?” Aku memotong pembicaraan Maman. Aku jadi merasa tak enak. “Yang penting kamu bisa bangun tepat waktu.” Lanjutku.

“Makasih, No.” Maman memegang tanganku. “Kamu baik sekali.”

Aku jadi serba salah.

ooOoo

 

Hari itu juga aku langsung ke pasar untuk membeli jam weker kecil untuk Maman. Uang jatah mingguanku yang kusisihkan untuk membeli buku aku relakan untuk membeli jam itu. Biar sajalah, aku masih bisa bersabar mengumpulkan duit sampai bulan depan.

Malamnya, saat shalat Isya aku segera menyerahkan weker itu kepada Maman. “Ini wekernya, Man.” Kataku pada Maman.

Maman mengambil jam itu. Melihat-lihatnya sebentar lalu mengucapkan terimakasih lagi kepadaku.

“Saya pulang dulu.” Kataku kemudian. “Ingat, besok subuh jangan terlambat lagi.” Kupastikan sekali lagi.

Maman mengangguk di ambang pintu. Aku pun pulang ke rumah dengan perasaan sedikit lega.

Paginya aku terbangun seperti biasanya. Azan shubuh sudah berkumandang dari masjid-masjid. Begitu syahdu bersahut-sahutan. Agak lama aku menikmati lantunan azan yang indah itu. Mataku masih mengantuk sekali. Tadi malam aku begadang mengerjakan tugas kuliah.

Aku duduk terantuk-antuk di tepi ranjang. Tapi beberapa saat kemudian aku tertegun. Masjid Maman, belum juga ada yang azan?!

“Masya Allah! Maman, kok kamu tidak bangun juga. Bukankah tadi malam aku sudah memberimu weker?”

Aku geleng-geleng kepala. Cepat-cepat aku bangkit dari tempat tidur. Segera aku berlari ke belakang untuk berwudhu. Beberapa saat kemudian aku sudah berada di halaman masjid.

Masya Allah! Maman benar-benar belum bangun! Seperti biasanya, lampu-lampu belum dinyalakan. Pintu-pintu masih terkunci!

Aku pun ngedumel dalam hati. Sungguh, aku tak habis pikir. Orang seperti apakah Maman ini? Apakah ia tidak menyetel weker yang kuberi tadi malam, sehingga ia tidak bangun pagi ini?

Aku berjalan cepat-cepat mendekati kamar Maman. Didekat pintu aku tertegun. Hatiku miris mendengar bunyi weker yang menjerit berulang-ulang.

“Duh Maman…., tidakkah kau bisa bangun dengan suara weker sekeras itu??”

ooOoo

 

Siang itu sepulang kuliah aku tidak langsung pulang ke rumah, melainkan mampir ke rumah Pak Wur pegawai masjid kami. Pak Wur lah dulu yang menemukan Maman sebagai pengganti Pak Aji. Aku hendak membicarakan masalah Maman ini kepada Pak Wur. Aku ingin meminta pendapatnya.

“Gimana Pak solusinya?” tanyaku setelah aku selesai menceritakan perihal Maman.

Pak Wur mengangguk-angguk. “Mmm.., begini Nak Feno. Bapak dulu memberikan pekerjaan marbot itu kepada Maman hanya karena bapak merasa kasihan padanya. Ia anak orang susah, Nak.” Pak Wur menatapku.

“Saya tahu Pak. Saya sudah berbicara dengannya.”

“Makanya Bapak juga bingung kalau sudah begini. Untuk memecat dia sebagai marbot rasanya sangat tidak enak ya, Nak Feno? Bapak tidak tega melihat ia kembali seperti dulu, tidur di gedung-gedung kampus setelah diusir dari rumah kos yang habis kontraknya. Uang kiriman dari keluarganya di kampung sangat-sangat tidak cukup. Sekadar biaya makan saja masih kurang. Apalagi menyewa kos.”

“Ya, saya mengerti. Tapi Pak, saya… ah, gimana, ya?”

“Ya, Bapak tahu maksud Nak Feno. Tapi sungguh, sementara ini Bapak tak bisa kasih solusi apa-apa. Paling-paling, ya, Bapak cuma bisa menasehati Maman.”

Aku menghela nafas.

“Sekalian ya, Bapak minta bantuan Nak Feno untuk menyelesaikan masalah ini.” Lanjut Pak Wur lagi.

“Iya deh, Pak,” jawabku sedikit kecewa.

ooOoo

 

Hari ini hari Jum’at. Tadi malam aku sudah wanti-wanti pada Maman agar pagi-paginya ia membersihkan masjid untuk persiapan shalat Jum’at. Rumput-rumput di sekitar masjid sudah mulai kelihatan meninggi. Sejak terakhir kali Pak Aji memotongnya, sampai sekarang rumput itu tak pernah dibersihkan lagi. Maman tak pernah memotongnya.

Juga lantai keramik putih masjid yang kelihatan kotor jejak-jejak kaki, aku meminta Maman mengepelnya pagi ini. Micropone kuminta ia memastikan agar tak bermasalah. Sajadah-sajadah kusuruh ia bentang semuanya.

Pulang dari kampus sekitar pukul setengah dua belas. Aku segera bersiap-siap untuk shalat Jum’at. Selesai mandi dan berpakaian aku langsung menuju masjid tanpa menunggu-nunggu lagi. Sejujurnya, aku masih sangsi dengan persiapan Maman. Jangan-jangan dia belum melakukan ap-apa.

Tiba di masjid aku terbelalak melihat rumput bekas dipotong namun hanya sebagian. Bangkai-bangkai rumput itu pun belum dikumpulkan, masih berserak di halaman masjid. Masih ada arit di tengah lapang itu. Aku mendesah lagi. Bagaimana Maman ini? Satu pun pekerjaannya tidak ada yang beres.

Aku segera ke tempat berwudhu untuk mencuci kaki. Alangkah terkejutnya aku di situ. Masya Allah, bak wudhu belum di isi! Bagaimana jamaah jumat mau wudhu?

Aku buru-buru menuju kamar Maman. Hendak betul rasanya aku berteriak kuat-kuat memaki laki-laki yang tidak becus itu.

Di kamar kutemukan Maman tengan terbaring di tempat tidur. Dengan pakaian basah bermandi keringat. Tangan yang masih berlumur tanah.

“Maman? Kamu belum mandi?” tanyaku tak habis pikir.

“Belum, No. Saya… saya…. saya masih belum selesai.”

“Aduuhh Maman.” Aku garuk-garuk kepala. “Masa’ sih dari pagi belum selesai juga merapikan rumput halaman itu? Jam segini mana sempat lagi!”

“Maaf, No.” Maman menunduk. “Tadi saya agak meriang.”

Aku sedikit tertegun. “Kamu sakit?” tanyaku kemudian. Kuraba tangannya. Tapi Aku tak merasa apa-apa. Hanya sedikit dingin. Kulihat bibirnya yang memang agak pucat.

“Kamu sakit ya, Man?” ulangku sekali lagi. Aku baru menyadari tatapannya memang redup.

“Nggak, kok.” Maman bangkit. “Paling cuma sedikit masuk angin,” lanjutnya.

Aku menoleh ke dalam masjid. Orang-orang sudah semakin banyak berdatangan. “Ya, sudah. Sekarang kamu mandi sana!” Kataku masih menyimpan kesal. Meskipun sedikit terkaburkan oleh rasa kasihan. Ya, aku begitu mudah kasihan padanya.

Aku pun masuk ke dalam masjid. Aku tertegun melihat lantai yang masih kotor tidak dipel, sajadah yang berdebu tidak dibersihkan dan belum dibentang, kaca-kaca yang tidak dilap, sound system yang belum siap.

Astragfirullahaladziem… Maman…!

ooOoo

 

Jumat berikutnya Maman mengulang lagi kelalaiannya. Tidak satu pun tugas-tugas marbot ia selesaikan. Kesabaranku habis sudah. Aku pikir aku sudah cukup berbaik hati pada Maman. Ia benar-benar sudah kelewatan. tak ada sedikit pun perubahan sampai sekarang. Tugas-tugas marbot masjid tak ada yang ia bereskan. Masjid masih kotor, rumput di halaman kian meninggi, azan pun ia sangat jarang.

Aku harus bertindak tegas, pikirku. Cukup sudah kasihanku padanya. Dikasih hati malah meminta jantung!

Tadi aku sudah mengultimatum Maman. Besok ia harus menyelesaikan semua tugas-tugas yang dilalaikannya. Kalau sampai tidak, aku akan mengusirnya saja. Ya, Pak Wur sudah menyerahkan segala urusan Maman padaku. Ia benar-benar sudah pasrah. Keputusan tinggal di tanganku. Aku boleh berbuat apa saja kepada Maman.

“Ingat, Man! “ kataku. “Besok pagi kamu harus bangun dan azan subuh! Kesempatanmu tinggal sekali ini saja lagi. Kalau tidak, kau boleh angkat kaki dari masjid ini. Aku akan segera mencari penggantimu.”

Maman menunduk sangat dalam. Kulihat bahunya sedikit bergoncang. Jujur saja, ada rasa kasihan menyeruak dalam hatiku. Tapi, tidak! Aku tidak boleh lagi kalah oleh rasa kasihan itu. Ia telah berkali-kali mendapatkannya. Ia sudah berkali-kali menikmatinya!

Aku berlalu begitu saja dari masjid itu tanpa menghiraukan Maman lagi.

Esok paginya apa yang aku khawatirkan benar-benar terjadi. Ternyata Maman tidak juga bangun subuh. Aku menggeram kesal. Lihatlah, Man, aku akan membuktikan ucapanku kemarin!

Aku melesat ke masjid. Kugedor kamar Maman seperti biasanya. Tapi kali ini aku tak bicara apa-apa pada Maman. Aku langsung saja masuk tanpa mengucap sepatah kata pun. Tau rasa dia, dicuekin!

Aku tak memperdulikan Maman yang memegang kepalanya, meringis seperti kesakitan, lalu mencoba meminta maaf padaku. Aku membisu. Aku tidak peduli dengan tingkah laku Maman yang seperti sakit itu. Setiap hari dia juga begitu, kok.

Aku pun membiarkan saja Maman ketika ia kembali terhenyak di tempat tidur. Bahkan ketika selesai azan Maman belum juga muncul untuk sholat aku tidak membangunkannya. Mampuslah, pikirku.

Selesai sholat subuh aku datang ke kamar Maman. Ia benar-benar tidak bangun hingga jamaah subuh pagi itu pulang semua. Benar-benar keterlaluan! Sekaranglah saatnya aku mengatakan semuanya. Ia tidak punya kesempatan lagi. Aku sudah tak punya maaf untuknya lagi.

Hatiku benar-benar dongkol melihat Maman yang kelihatan tertidur pulas di dipan kayunya. Sedikit pun seperti tidak ada beban di wajahnya. Sungguh, tidak punya perasaan, jeritku dalam hati. Kudekati tubuh kurus itu. Kuambil sebuah mistar dari atas meja.

“Hei, bangun!” bentakku. Kupukul mistar di tanganku ketubuhnya. Maman tidak bergerak.

“Heii! Bangun Maman!” bentakku lagi. “Kamu harus segera mengemas barang-barangmu untuk pindah dari masjid ini!” lanjutku. Semua perasaan tidak tega yang melintas dibenakku aku usir jauh-jauh. Pokoknya aku tidak boleh terkecoh lagi!

Kupukul sekali lagi mistar di tanganku. Tapi tetap tak ada reaksi. Aku pun lalu menggoyang-goyang tubuh Maman. Tangan itu bergerak, tapi… lemas dan terkulai. Menggantung di sisi ranjang.

Aku tertegun. “Mamaan!” ku goyang-goyangkan tubuh itu lagi lebih kuat.

“Astrafirullahaladzim! Maman…!”

Tubuh Maman tetap tak bergerak. Aku meraba pergelangan tangan Maman. Dan… dadaku seperti hendak pecah ketika menyadari…., masyaallah, tidak ada detak jantungnya!”

“Mamaaaan….! Mamaaaan….!” Aku pun menjerit sejadi-jadinya.

Angin subuh bertiup gelisah. Tubuh Maman semakin kaku. Membiru.[]

 

Masjid Al-Hikmah, Maret 2004

Untuk Rizal, teman sesama marbot.

 

Agusmantono, lahir di Bengkulu tanggal 14 Agustus 1982. Aktif di FLP. Punya hobi menulis dan menyanyi, Agus bersama tim nasyidnya juga pernah memenangkan juara III Lomba Nasyid se-propinsi Bengkulu (2003). Cerpennya berjudul Bening Hati Laras dimuat dalam Kumpulan Cerpen FLP se-Sumbagsel. “Ketika Nyamuk Bicara” diterbitkan oleh penerbit Zikrul Hakim, Jakarta. E-mail : elhade@eramuslim.com.

 

Sumber: Majalah SOBAT Muda, Edisi 23/Oktober 2006

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.